Riwayat UU Pengamanan Barang Cetakan Tamat
Utama

Riwayat UU Pengamanan Barang Cetakan Tamat

Majelis menyatakan kewenangan jaksa agung melarang peredaran barang cetakan in casu buku tanpa proses peradilan merupakan salah satu pendekatan negara kekuasaan, bukan negara hukum.

Abdul Razak Asri
Bacaan 2 Menit
Para pemohon dan kuasa hukum menggelar konferensi<br>pers sesaat setelah sidang. Foto: Rzk
Para pemohon dan kuasa hukum menggelar konferensi<br>pers sesaat setelah sidang. Foto: Rzk

“Ini adalah puncak freedom of expression”. “Ini kemajuan besar”. “Ini kemenangan bangsa Indonesia”. “Ini kemenangan intelektual”. Kalimat-kalimat ini adalah ekspresi para pemohon beserta kuasa hukum mereka sesaat setelah Majelis Hakim Konstitusi membacakan putusan. Meski bunyi putusannya adalah mengabulkan permohonan untuk sebagian, namun para pemohon beserta kuasa hukum menganggap putusan ini adalah kemenangan.

 

“Menyatakan UU No 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD dalam sidang yang digelar Rabu (13/10).

 

 

Putusan ini terkait tiga permohonan sekaligus yang diajukan secara terpisah. Permohonan pertama No 6/PUU-VIII/2010 diajukan oleh Darmawan, seorang penulis buku. Permohonan kedua No 13/PUU-VIII/2010 diajukan oleh Muhammad Chozin Amirullah dari HMI MPO. Permohonan ketiga No 20/PUU-VIII/2010 diajukan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) yang diwakili sang ketua I Gusti Agung Ayu Ratih.

 

 

Tiga kubu pemohon ini menyasar dua objek pengujian yang sama. Pertama, UU No 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum jo UU No 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang terhadap UUD 1945. Kedua, UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

 

 

Putusan majelis menyatakan “mengabulkan sebagian” karena majelis berpendapat permohonan pengujian formil yang diajukan pemohon perkara No 20/PUU-VIII/2010 tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijk Verklaard (NO). Majelis menilai permohonan pengujian formil tersebut telah melampaui batas waktu 45 hari sejak undang-undang dimuat dalam lembaran negara. Batas waktu ini ditetapkan MK ketika menjatuhkan putusan No 27/PUU-VII/2009.

 

“Bahwa merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010, maka pengujian formil yang diajukan para pemohon perkara No 20/PUU-VIII/2010 telah lewat waktu sehingga dinyatakan tidak dapat diterima,” ujar Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

 

Putusan “mengabulkan sebagian” juga menunjuk pada sikap majelis yang menolak permohonan para pemohon agar Pasal 30 ayat (3) UU Kejaksaan inkonstitusional. Menurut majelis, pasal itu tidak bertentangan dengan Konstitusi karena Kejaksaan selaku aparat pemerintah diperkenankan melakukan pengawasan atas barang cetakan yang isinya bertentangan atau melanggar suatu undang-undang.

 

Frasa “pengawasan” dalam Pasal 30 ayat (3), menurut majelis, tidak boleh dimaknai sebagai “pengamanan” atau “pelarangan” sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 4/PNPS/1963. Pengawasan dapat merupakan penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan dan penyidangan yang kesemuanya dalam konteks due process of law.

 

 

Mengenai UU No 4/PNPS/1963, majelis berpendapat di Indonesia sebagai negara hukum harus ada due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Artinya, setiap perbuatan yang dinilai melanggar hukum, prosesnya harus melalui pengadilan sehingga kewenangan pelarangan peredaran suatu barang seperti barang cetakan tidak dapat diserahkan kepada satu instansi tanpa proses pengadilan.

 

 

Majelis menyatakan kewenangan jaksa agung melarang peredaran barang cetakan in casu buku tanpa proses peradilan merupakan salah satu pendekatan negara kekuasaan, bukan negara hukum. Padahal, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum.

 

 

Dengan demikian, majelis menyimpulkan penyitaan barang cetakan yang dilakukan Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum sebagaimana ketentuan Pasal 6 UU No 4/PNPS/1963, tetapi tanpa seizin pengadilan dianggap bertentangan dengan Pasal 38 KUHAP. Pasal ini mengatur bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan dengan surat izin pengadilan negeri setempat. Pertentangan antara kedua pasal ini, menurut majelis, menimbulkan ketidakpastian hukum yang merupakan hak setiap orang sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

 

Dissenting opinion

 

Putusan majelis tidak bulat. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan pendapat berbeda. Hamdan berpendapat UU No 4/PNPS/1963 semestinya dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Menurutnya, undang-undang yang mengatur tentang pengamanan barang cetakan yang isinya dapat mengganggu keteriban umum tetap dibutuhkan. Pasalnya, negara pada dasarnya memang memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban umum (public order) serta keamanan bagi warga negaranya.

 

“Kewenangan negara untuk menjaga ketertiban umum tidak bisa dibatasi hanya karena dianggap melanggar hak individu,” ujar Hamdan. Makanya, mantan anggota DPR ini berpendapat UU No 4/PNPS/1963 harus tetap dinyatakan berlaku, setidaknya sementara hingga dibentuknya undang-undang yang lebih baik.

 

 

Menurut Hamdan, kewenangan pengamanan barang cetakan tetap diperlukan dengan syarat barang cetakan tersebut memang melanggar ketentuan undang-undang, mengakibatkan gangguan ketertiban umum, dan gangguan itu bersifat nyata atau potensial pasti terjadi. Kewenangan ini biar tidak disalahgunakan juga harus mendapat izin pengadilan sehingga pihak yang keberatan dapat melakukan perlawanan.

 

 

“Akan menjadi persoalan jika kewenangan pemerintah in casu jaksa agung melarang barang cetakan dicabut. Pemerintah jadi tidak punya dasar hukum lagi untuk menertibkan barang-barang cetakan seperti pornografi,” ujar Hamdan khawatir.

 

 

Dalam jumpa pers seusai persidangan, Taufik Basari selaku kuasa hukum untuk perkara No 20/PUU-VIII/2010 mengatakan sejak putusan ini dibacakan maka jaksa agung tidak lagi memiliki kewenangan melarang buku. “Kecuali melalui due process of law,” tegasnya. Bagi Tobas, begitu ia biasa siapa, MK melalui putusannya telah mengembalikan Indonesia menjadi negara hukum, bukan negara kekuasaan.

 

 

“(Jadi) Negara tidak lagi dapat menilai pendapat seseorang dalam buku. Ini pembelajaran supaya negara tidak lagi berdasarkan kekuasaan,” kata Tobas.

 

 

Sementara, Darmawan, penulis buku “Enam Jalan Menuju Tuhan” yang menjadi pemohon, mengatakan buku yang di dalamnya terkandung pemikiran seseorang memang tidak seharusnya dilarang. “Otak dibalas otak, buku dibalas buku,” tukasnya lantang. 

 

Tags: