RUU Cipta Kerja Tiga Sektor Ini Potensial Langgar HAM
Berita

RUU Cipta Kerja Tiga Sektor Ini Potensial Langgar HAM

Selain melanggar hak masyarakat mendapatkan informasi dan partisipasi dalam penyusunan draf, substansi RUU Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan, lingkungan, dan media juga dinilai potensi melanggar HAM dan konvensi internasional.

rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, permasalahan lain tentang pengabaian aspek lingkungan hidup, termasuk pada hak-hak masyarakat adat. Dampaknya, bakal berpotensi merusaknya lingkungan, runtuhnya keadaban hukum, dan kriminalisasi yang semakin banyak terhadap peladang tradisional.

 

“Hancurnya lingkungan, rusaknya hukum, dan justifikasi perampasan hak-hak masyarakat akan membawa Indonesia dalam ketimpangan yang semakin dalam. Apabila dampak itu yang terjadi, maka RUU Cipta Kerja menjadi RUU terburuk sejak era reformasi,” katanya.

 

Semakin menggerus hak buruh

Usman sependapat bahwa substansi RUU Cipta Kerja semakin menggerus hak-hak buruh. Sebab, dalam draf RUU banyak menghapus dan mengubah pasal dalam UU 13/2003 yang berpotensi melanggar HAM. Terutama, hak atas upah minimum yang adil, batasan jam kerja, waktu istirahat, libur, hak konsultasi tripartit.

 

Dia menilai RUU Cipta Kerja yang mengubah upah minimum kota/kabupaten (UMK) dengan upah minimum provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh Gubernur berpotensi menimbulkan situasi upah minimum tak memenuhi standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi buruh. Padahal, setiap wilayah di provinsi memiliki tingkat harga kebutuhan dan daya beli masyarakat yang berbeda-beda

 

“RUU Cipta Kerja melanggar Pasal 7 Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, khususnya tentang hak buruh untuk mendapat upah minimum yang mendukung standar kehidupan yang layak,” ujarnya mengingatkan.  

 

Selain itu, RUU ini disinyalir menghapus sejumlah cuti tertentu yang mewajibkan pengusaha tetap membayar upah pekerjanya. Seperti cuti bagi pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran; cuti pekerja yang menikahkan keluarganya; mengkhitankan atau membaptiskan anaknya; cuti haid. Kemudian cuti bagi pekerja yang menjalankan kewajiban atau ibadah agamanya; cuti untuk melaksanakan tugas serikat buruh hingga cuti melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

 

Dia menilai RUU Cipta Kerja yang mengubah banyak UU melalui cara omnibus law bertentangan dengan hukum internasional, khususnya terkait hak pekerja melalui kondisi yang adil dan menyenangkan di tempat bekerja sebagaimana dijamin oleh Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

 

“Pemerintah bisa gagal memenuhi kewajibannya dan mencegah pelanggaran hak pekerja untuk mendapatkan cuti berbayar, sesuai prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan HAM,” katanya.

Tags:

Berita Terkait