Salah Urus Peraturan Menteri Jadi Sumber Masalah Persoalan Regulasi di Indonesia
Berita

Salah Urus Peraturan Menteri Jadi Sumber Masalah Persoalan Regulasi di Indonesia

Minimnya koordinasi terintegrasi antar instansi diperparah rumusan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memberikan batasan tegas.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Salah satu sesi dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-4. Foto: NEE
Salah satu sesi dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-4. Foto: NEE

Masalah over regulation menjadi isu pembuka yang disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki saat menjadi pembicara kunci Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Nasional ke-4 di Jember, Sabtu (11/11). Teten menilai tidak ada keselarasan dalam pembentukan regulasi di berbagai tingkat.

 

Teten mengungkapkan bahwa tercatat sepanjang periode 2000-2015 rata-rata ada 831 regulasi yang diproduksi setiap tahunnya, totalnya ada 12.471 regulasi diproduksi selama 15 tahun. Masalahnya adalah berbagai regulasi tersebut justru dirasa lebih banyak kontraproduktif bagi pembangunan.

 

“Problem besar kita di dalam pembuatan regulasi itu tidak ada semacam appropriate comitte (komite penyelaras) untuk menselaraskan dengan aturan di bawahnya,” kata Teten di hadapan peserta konferensi.

 

Khususnya mengenai regulasi yang berkaitan dengan bidang ekonomi, Teten menjelaskan, rezim Presiden Jokowi memberikan fokus lebih banyak sebagai respon menghadapi tantangan global. Salah satu yang menjadi parameter Presiden Jokowi adalah penilaian EoDB (Ease of Doing Business) oleh World Bank.

 

Sebagai langkah solutif, pemerintah melakukan reformasi struktural, debirokratisasi dan deregulasi. Untuk hal ini Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) telah dilibatkan untuk ikut mejadi tim review berbagai regulasi yang dianggap menghambat pembangunan nasional.

 

Sementara itu Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menilai over regulation justru terjadi di level peraturan menteri yang merupakan pembantu Presiden sendiri. Ia menilai, masalah obesitas regulasi harus dibatasi dengan tidak memasukkan UU sebagai produk regulasi yang dipermasalahkan.

 

“Karena UU yang ada kurang dari yang seharusnya, setidaknya dari standar Prolegnas, tidak argumentasi yang kuat jika memasukkan komponen UU sebagai ukuran jumlahnya (obesitas),” kata Saldi dalam sesi pemaparannya.

Tags:

Berita Terkait