Sejak 1986 MA Legalkan Kawin Beda Agama, Bagaimana dengan MK?
Utama

Sejak 1986 MA Legalkan Kawin Beda Agama, Bagaimana dengan MK?

Atas dasar HAM, Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 menjadi yurisprudensi atas kawin beda agama sah melalui penetapan pengadilan. Namun, belakangan muncul Surat Ditjen Dukcapil Kemendagri No.472.2/3315/DUKCAPIL tertanggal 3 Mei 2019 yang membolehkan pencatatan kawin beda agama.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit

Kala itu, para pemohon mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan, terutama berkaitan dengan keabsahan kawin beda agama. Norma pasal itu dinilai pemohon berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan negara terhadap kawin beda agama. Namun, MK menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Mahkamah menganggap UU Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Terlebih, Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang yang salah satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama.

“Karena itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.  

Namun, belum lama ini, MK kembali menerima permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan setiap perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Permohonan ini diajukan oleh E Ramos Petege yang seorang Katolik dan bermaksud melakukan perkawinan dengan wanita beragama Islam, namun dibatalkan karena keduanya memeluk agama dan keyakinan berbeda.

Intinya, Pemohon meminta MK menafsirkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membuka peluang perkawinan beda agama yang didasarkan pada kehendak bebas kedua calon mempelai.

“Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, ber adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menjadi berbunyi perkawinan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka sidang,” demikian bunyi petitum permohonan ini.

Kini, persidangan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini tinggal menunggu sidang tanggapan pemerintah dan DPR atau bisa saja nantinya langsung diputuskan? Kita tunggu bagaimana sikap MK terkait pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini, apakah tetap menolak permohonan, dalam arti menolak kawin beda agama di Indonesia atau sebaliknya? Kita tunggu saja!    

Tags:

Berita Terkait