Sejak 1986 MA Legalkan Kawin Beda Agama, Bagaimana dengan MK?
Utama

Sejak 1986 MA Legalkan Kawin Beda Agama, Bagaimana dengan MK?

Atas dasar HAM, Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 menjadi yurisprudensi atas kawin beda agama sah melalui penetapan pengadilan. Namun, belakangan muncul Surat Ditjen Dukcapil Kemendagri No.472.2/3315/DUKCAPIL tertanggal 3 Mei 2019 yang membolehkan pencatatan kawin beda agama.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit
Asisten Redaktur Hukumonline Normand Edwin Elnizar dalam Bincang-Bincang Premium Stories bertajuk 'Kawin Beda Agama Sudah Lama Disahkan Negara, Kok Bisa?', Senin (28/3/2022). FKF
Asisten Redaktur Hukumonline Normand Edwin Elnizar dalam Bincang-Bincang Premium Stories bertajuk 'Kawin Beda Agama Sudah Lama Disahkan Negara, Kok Bisa?', Senin (28/3/2022). FKF

Isu perkawinan beda agama kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Belum lama ini, viral foto pernikahan beda agama sepasang kekasih di Semarang menjadi perbincangan hangat di media sosial. Mempelai perempuan seorang muslim menikah dengan mempelai pria yang beragama nasrani. Terakhir, Staf Khusus Presiden, Ayu Kartika Dewi yang beragama Islam menikah beda agama dengan sang suami, Gerald Bastian yang beragam Katolik yang menikah di Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (18/3/2022) lalu.

Bila ditengok ke belakang, polemik kawin beda agama terjadi sejak tahun 1980-an. Mahkamah Agung (MA) pernah menerbitkan Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 yang menyatakan perkawinan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan Sejak terbitnya putusan itu, kantor catatan sipil sudah bisa mencatatkan kawin beda agama atas dasar penetapan pengadilan.

Setelah puluhan tahun kemudian, belakangan muncul Surat Ditjen Dukcapil Kemendagri No.472.2/3315/DUKCAPIL tertanggal 3 Mei 2019. Surat yang diteken Dirjen Dukcapil Kemendagri Prof Zudan Arif Fakrulloh ini berisi penjelasan pencatatan sipil, salah satunya pencatatan perkawinan beda agama bila salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya. Surat ini berpedoman pada Surat Panitera MA yang dimohonkan Ditjen Dukcapil Kemendagri pada 10 Oktober 2018.     

Baca:

Melalui Surat Jawaban Panitera MA No.231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 poin 2 menjelaskan tentang pencatatan perkawinan beda agama yang berbunyi: "Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)”.

“Penundukkan diri ini kalau dilihat dari praktik tahun 1986 sampai fatwa itu keluar, ini tidak bermaksud pindah agama. Jadi tetap bertahan di agama masing-masing saja, cuma dalam perkawinannya menundukkan diri,” ujar Asisten Redaktur Hukumonline Normand Edwin Elnizar dalam Bincang-Bincang Premium Stories bertajuk “Kawin Beda Agama Sudah Lama Disahkan Negara, Kok Bisa?”, Senin (28/3/2022).

Edwin menerangkan sejak tahun 1986 ada upaya untuk minta dispensasi nikah bagi yang berbeda agama melalui Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 yang dipimpin langsung Ketua Mahkamah Agung (saat itu, red) Ali Said. MA membatalkan penetapan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (yang menolak perkawinan beda agama, red).

Awalnya, PN Jakarta Pusat yang menerima berkas perkara itu melalui Penetapan No.382/Pdt/P/1986/PN Jkt Pst menolak perkawinan beda agama dan konsisten sejalan dengan UU Perkawinan secara tertulis bahwa kawin harus seagama. Namun keduanya mengajukan upaya hukum kasasi ke MA yang mengabulkan atas dasar hak asasi manusia (HAM). Putusan MA ini menjadi dasar diperbolehkannya nikah beda agama dicatatkan di kantor catatan sipil.

“Jadi kantor pencatatan sipil sudah mulai bisa mencatatkan kawin beda agama sejak tahun 1986. Sejak saat itu, putusan ini sering dirujuk ketika ada pasangan kawin beda agama yang ingin mengupayakan tercatat sah oleh negara. Ini sudah banyak kasus hingga saat ini,” kata Edwin.

Baginya, putusan pengadilan juga sebagai bagian dari hukum positif Indonesia meskipun posisinya tidak sama seperti di negara-negara yang menerapkan common law system yang konsisten hakim-hakim terikat dengan putusan yang sudah menjadi yurisprudensi. Putusan itu tetap sah-sah saja menjadi sumber hukum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia. Karena itu, Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 itu menjadi rujukan yurisprudensi mengenai kawin beda agama sah dengan penetapan pengadilan yang mengabulkan terlebih dahulu sebelum dibawa ke kantor pencatatan sipil.

Beberapa tahun lalu, di Indonesia sempat pula terdapat fase dimana untuk kawin beda agama harus ke luar negeri terlebih dahulu. Karena terdapat sejumlah negara yang menerima orang dari luar negara mereka melangsungkan perkawinan secara hukum yang berlaku di negaranya. Sehingga pasangan beda agama bisa mendapat status sudah kawin dari negara lain itu.

“Perkawinan di luar negeri, pulang ke Indonesia, (meminta dicatatkan, red) di kantor pencatatan sipil pada umumnya diterima. Sehingga mereka statusnya dalam kependudukan itu sudah kawin. Kalau saat itu (pemikiran masyarakat) mesti keluar negeri. Padahal sejak tahun 1986 tidak usah ke luar negeri, mereka cukup minta penetapan pengadilan saja.”

Meski demikian, Edwin mengaku dari sejumlah putusan hakim mengenai penetapan perkawinan beda agama banyak diantaranya dikabulkan, tetapi juga ditemukan sejumlah putusan yang ditolak. Dari hasil risetnya, masih terdapat beberapa penetapan pengadilan yang tidak merujuk pada yurisprudensi MA, tapi merujuk pada UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan saat membuat penetapan kawin beda agama.

Bagaimana sikap MK?

Terkait kawin beda agama ini, MK pernah bersikap melalui putusannya. Dalam Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 silam, MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama yang dimohonkan seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI.

Kala itu, para pemohon mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan, terutama berkaitan dengan keabsahan kawin beda agama. Norma pasal itu dinilai pemohon berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan negara terhadap kawin beda agama. Namun, MK menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Mahkamah menganggap UU Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Terlebih, Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang yang salah satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama.

“Karena itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.  

Namun, belum lama ini, MK kembali menerima permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan setiap perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Permohonan ini diajukan oleh E Ramos Petege yang seorang Katolik dan bermaksud melakukan perkawinan dengan wanita beragama Islam, namun dibatalkan karena keduanya memeluk agama dan keyakinan berbeda.

Intinya, Pemohon meminta MK menafsirkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membuka peluang perkawinan beda agama yang didasarkan pada kehendak bebas kedua calon mempelai.

“Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, ber adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menjadi berbunyi perkawinan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka sidang,” demikian bunyi petitum permohonan ini.

Kini, persidangan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini tinggal menunggu sidang tanggapan pemerintah dan DPR atau bisa saja nantinya langsung diputuskan? Kita tunggu bagaimana sikap MK terkait pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ini, apakah tetap menolak permohonan, dalam arti menolak kawin beda agama di Indonesia atau sebaliknya? Kita tunggu saja!    

Tags:

Berita Terkait