Sejarah Advokat Indonesia dan Tokoh-Tokoh Memperjuangkan Rule of Law
Kolom

Sejarah Advokat Indonesia dan Tokoh-Tokoh Memperjuangkan Rule of Law

Penyelenggaraan dan pengawasan advokat itu bukan semata-mata dilakukan organisasi advokat.

Bacaan 9 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Sebagaimana kita ketahui, dilihat dari Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga organisasi-organisasi advokat di Indonesia semenjak zaman PERADIN, IKADIN dan PERADI. Semua organisasi profesi advokat ini berpijak kepada tujuan menciptakan negara hukum (Rechsstaat) yang memperjuangkan dan menegakkan hak asasi manusia dan peradilan yang jujur, adil, terbuka dan mandiri dalam menegakkan hukum, keadilan dan hak asasi manusia.

Mr. Raden Soewandi, Mr. Teuku M. Hasan, Mr. Johannes Latuharhary, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Muhammad Yamin, Maria Ulfah, Mr. Abdoel Abbas, Mr. Soepomo, dan Mr. R Soeleiman E Koesoema Atmadja adalah para tokoh advokat yang mempunyai peran penting dan strategis dalam kiprahnya dalam hal memperjuangkan Rule of Law. Seluruhnya bergelar Meester in de Rechten pada masa itu. Kesembilan tokoh tersebut adalah para tokoh pejuang kemerdekaan dan para pejuang nasional.

Sejarah advokat dimulai ketika masa kolonial Belanda karena jumlahnya sangat sedikit waktu itu, mereka tidak bergabung dalam organisasi advokat tetapi di kota-kota besar waktu itu mereka ada perkumpulan yang dikenal sebagai Balie van Advocaten yang keanggotaannya didominasi oleh advokat Belanda. Balie van Advocaten ini kemudian menjelma menjadi Persatuan Advokat Indonesia (PAI) pada 14 Maret 1963 sebagai embrio dari Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).

Harapan dan usaha untuk mengadakan suatu kongres atau musyawarah para advokat Indonesia waktu itu mulai dikumandangkan dalam Kongres II Perhimpunan Sarjana Hukum (PERSAHI) di Surabaya yang berlangsung pada tanggal 15-19 Juli 1963. PERSAHI waktu itu boleh dikata adalah Law Society di Indonesia yang mencita-citakan organisasi advokat bisa didirikan. Hasil Kongres II PERSAHI ini mengharapkan agar kongres para advokat dapat diselenggarakan pada bulan Agustus 1964 di Solo.

Baca juga:

Sejarah organisasi advokat di Indonesia ini kemudian tidak dapat lepas dari Kongres Nasional Pertama para advokat Indonesia di Solo pada tanggal 30 Agustus 1964, yang kemudian secara aklamasi dibentuklah suatu organisasi advokat yang dinamakan PERADIN sebagai organisasi atau wadah persatuan para advokat di Indonesia. Sejak tanggal 30 Agustus 1964 nama PERADIN menggantikan PAI sebagai singkatan dari Persatuan Advokat Indonesia. Dalam musyawarah tersebut Meester in de Rechten Iskaq Tjokrohadisuryo (mantan Menteri Perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I) terpilih sebagai Ketua Umum PERADIN merangkap Tim Formatur DPP PERADIN, yang kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya seperti Sukardjo Adidjojo, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif dan Harjono Tjitrosubono.

Sewaktu PERADIN di bawah kepengurusan Suardi Tasrif, PERADIN mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi perjuangan pada tahun 1978 dan banyak kiprahnya yang mengkritik dan menentang Keppres dan Perpres yang bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945. Mereka dikenal sebagai “L’infant terrible” atau si anak nakal karena kritik yang dilontarkan sewaktu pemerintahan Orde Baru mengembangkan otoritarianisme.

Seperti tokoh-tokoh advokat sebelumnya mereka memperjuangkan Rule of Law agar supaya putusan-putusan pengadilan dapat memberi keadilan kepada masyarakat dan para penguasa itu diatur hukum atau undang-undang dalam menjalankan kekuasaannya. Maka pengadilan dalam keputusan-keputusannya dapat menjembatani konflik antara yang berkuasa dan yang dikuasai sebagai masyarakat. Adanya keseimbangan antara negara dan individu menjadi acuan dari Rule of Law atau dalam konsep negara hukum ada pembagian kekuasaan dalam ajaran Montesquieu tentang Trias Politica. Pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat atau teori tentang demokrasi “Salus Populi Suprema Lex Esto” atau “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi”. Tokoh-tokoh advokat itu sejak zaman dulu sewaktu perjuangan kemerdekaan dan setelah merdeka sudah berjuang untuk kepentingan rakyat.

Karena itu perjuangan untuk “due process of law” diutamakan untuk memperoleh keadilan, diperlukan pengadilan yang jujur, terbuka dan tidak memihak. Pembelaan yang dilakukan dengan mengabaikan SARA adalah penting karena profesi advokat harus bebas dari keberpihakan, medeka, dan independen. Inilah yang kemudian diperjuangkan PERADIN dalam negara hukum (Rechtsstaat).

Pada zaman kepengurusan Lukman Wiriadinata di Lembaga Bantuan Hukum atau LBH berdiri tahun 1970 dalam membela orang miskin atau probono public atau prodeo. Konsep negara hukum (Rechtsstaat) ini menjadi pegangan para advokat Indonesia dengan tidak memandang latar belakang kliennya.

Gagasan untuk mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) muncul pada saat Kongres PERADIN ke-III pada tanggal 18-20 Agustus tahun 1969 di Jakarta. Gagasan tersebut muncul dari seorang mantan jaksa bernama Adnan Buyung Nasution. Gagasan ini diwujudkan dengan pendirian LBH Peradin di Jakarta pada tahun 1970. Berdasarkan hasil Kongres PERADIN tersebut pula dipilih Adnan Buyung Nasution sebagai Direktur Utama LBH yang pertama. Pendirian LBH merupakan proyek khusus dari PERADIN. Pendirian LBH Jakarta yang didukung pula oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta ini, pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dalam memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di-PHK, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia pada umumnya.

Multi Bar Association atau Single Bar Association

Sejarah advokat Indonesia sejak zaman kolonial sampai setelah kemerdekaan memang bersifat multi bar association. Sejak PAI didirikan dan sesudah itu tidak pernah PERADIN mendeklarasikan sebagai national bar association. Tidak pernah ada klaim dari PERADIN sendiri sebagai national bar association. Dengan adanya AAI, PERSAHI, PUSBADHI, HAPI, IPHI dan lain-lain memang secara alami sejarah organisasi advokat itu multikultural atau heterogen dengan berbagai aspirasi dan cita-citanya. Memang secara alami organisasi-organisasi itu tumbuh dan bergerak sesuai aspirasinya sendiri-sendiri. Apapun pilihannya baik multi bar association ataupun single bar association harus diputuskan oleh para anggotanya sendiri tanpa campur tangan pihak lain.

Pembentukan wadah tunggal ditentang oleh PERADIN dan banyak advokat lainnya, namun karena saat itu suasana kebatinan serta semangat ingin bersatu, maka terbentuklah organisasi tunggal advokat. Kita menganggap kita akan kuat kalau bersatu. Padahal wadah tunggal tidak cocok dengan bangsa kita yang multikultural. Yang Penulis tahu waktu itu Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution tidak setuju penyatuan dalam wadah tunggal, karena tekanan politik waktu itu sebagian besar mengikuti kemauan pemerintah Orde Baru. Ketika Penulis ditunjuk sebagai Ketua bidang hubungan dengan organisasi-organisasi internasional tidak terpikirkan bahwa salah satu tugas Penulis adalah melihat bagaimana UU Advokat di Belanda diselenggarakan dan bagaimana itu diimplementasikan di negeri Belanda. Setelah beberapa kali pertemuan Nederlanse Orde Van Advocaten (NOVA) dan IKADIN bersepakat untuk menjalin kerjasama dalam bidang hukum.

Semangat ingin bersatu ini tidak diikuti dengan mengundang para ahli dari Belanda dan sebagainya untuk menjelaskan Advocaten Wet dan pengawasan untuk menyelenggarakan Bar Examination dan organisasi advokat pada dasarnya harus hidup dari iuran para anggotanya dan penyelenggaraan kursus pendidikan dan pelatihan yang perlu diadakan oleh organisasi national bar association

Melihat contoh kasus di Belanda itu memang para advokat di Belanda dipersatukan dalam NOVA tetapi NOVA ditunjuk untuk mengemban tugas Advocaten Wet. Dengan kata lain Nova ditunjuk sebagai Single Bar Association mengemban tugas menyelenggarakan Advocaten Wet dan jelas ditunjuk oleh pembuat undang-undang waktu itu.

Dalam kunjungan NOVA 19 Oktober 1994, Tom de Waard (Ketua umum NOVA waktu itu) dan Frederick Heemskerk (Sekretaris Jenderal NOVA) didampingi sejumlah pengurus DPP IKADIN datang kepada Menteri Kehakiman Oetojo Oesman waktu itu. Pemerintah menganjurkan dibentuk wadah tunggal yang dapat mewakili Indonesia diforum-forum International. Pada saat itulah didorong penyatuan advokat Indonesia walaupun IKADIN sudah ada sejak 1985, padahal waktu itu selain IKADIN ada AAI, HAPI dan IPH. Menurut para tamu itu, NOVA dibiayai dari iuran anggota pelayanan-pelayanan tertentu seperti biaya pendidikan dan pelatihan.

Sebagai Nasional Bar Association IKADIN mewakili yuridiksi Indonesia sebagai anggota IBA ke-113 pada 1 Maret 1992. Pengumuman kedudukan IKADIN sebagai anggota IBA juga dikukuhkan di dalam pertemuan Dewan Badan Advokat Dunia pada 19 Juni 1993 di Budapest, Hongaria. Entah bagaimana caranya 8 organisasi yang tergabung dalam PERADI seperti IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan APSI disebutkan dalam pasal 32 ayat 3 UU Advokat :

“Untuk sementara tugas dan wewenang organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI),Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).”

Entah bagaimana caranya 8 organisasi yang katanya mengemban maksud dan tujuan PERADI memilih ketua umumnya bukan berdasarkan konsep yang disyaratkan Article 17 IBA Standards for the Independence of the Legal Profession yang dibentuk pada tahun 1990, harus dilakukan melalui suatu pemilihan oleh para anggotanya dan tidak boleh ada campur tangan dari luar, sehingga organisasi profesi itu bisa dianggap sebagai independen karena menganut prinsip self-governing. Selain itu advokat mempunyai hak untuk menjadi anggota lebih dari satu organisasi advokat. Hal tersebut juga sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis yang dianut oleh organisasi advokat yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pengurusnya. Berdasarkan 8 pengurus organisasi advokat tadi memindahkan keanggotaan IKADIN kepada PERADI. Presiden IBA sendiri waktu itu tidak bisa menjawab bagaimana keanggotaan IKADIN bisa dipindahkan ke organisasi lain.

Definisi organisasi advokat yang independen menurut IBA Standard for Independence of the Legal Profession :

  • Pasal 17 IBA Standard for Independence of the Legal Profession

There shall be established in each jurisdiction one or more independent self-governing associations of lawyers recognized in law,...

“Di setiap negara harus didirikan satu atau lebih organisasi profesi advokat yang bebas dan mandiri.”

  • Pasal 24 UN Basic Principles on The Role of Lawyers

(Adopted by the Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, Cuba, 27 August to 7 September 1990)

Lawyers shall be entitled to form and join self-governing professional associations to represent their interests, promote their continuing legal education and training and protect their professional integrity. The executive body of the professional associations shall be elected by its members and shall exercise its functions without external interference.

“Setiap advokat memiliki hak untuk membentuk dan menggabungkan diri dengan organisasi profesi advokat yang bebas dan mandiri, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.”

Seharusnya 8 organisasi advokat ini melakukan pemilihan pengurusnya melalui Musyawarah Nasional Advokat Indonesia berdasarkan hak pilih dari para anggotanya yang terdiri dari 8 organisasi advokat sebagaimana yang disebutkan dalam UU Advokat. Pengurus terpilih harus betul-betul independen dan begitu pula pemilihnya tidak boleh ada campur tangan dari luar termasuk penguasa eksekutif, legislatif dan yudikatif. Independensi advokat dalam organisasi advokat harus betul-betul dijamin.

Kekuasaan Kehakiman dan Pengawasan Advokat

­Menurut pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman itu berada di bawah Mahkamah Agung (MA) dan pengawasan dilakukan bersama Menteri Kehakiman waktu itu. Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman profesi advokat harus tetap di bawah pengawasan MA dan Menteri Kehakiman hanya penyelenggaraan bar examination yang dilakukan bersama-sama dengan pemegang kekuasaan kehakiman. Jadi penyelenggaraan dan pengawasan advokat itu bukan semata-mata dilakukan organisasi advokat. Seolah-olah penyelenggaraan bar examination ini menjadi domain mutlak dari organisasi advokat.

Bar association sebagaimana kita lihat di negara-negara yang sudah lebih mapan fee solicitor seperti di Inggris ditentukan oleh lembaga pengawasan yang ditunjuk Privy Council dan seperti di Belanda NOVA hanya dapat income dari iuran anggota dan penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan dan kursus yang tarifnya ditentukan bersama dengan Governors yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman serta jika ada pelanggaran kode etik advokat sanksi nya dapat dilaporkan ke Negara. Negara harus diikutsertakan dalam pengawasan profesi advokat, selain diawasi oleh organisasi advokat.

Di Inggris dalam Legal Services Act 2007 disebutkan nama organisasi advokat yang melakukan peran tertentu yaitu The Law Society, The General Council of The Bar, The Master of The Faculties, The Institute of Legal Executives, The Council for Licensed Conveyancers, The Chartered Institute of Patent Attorneys dan Legal Services Board.

Di Belanda dalam Advocaten Wet secara tegas dan logis menyebutkan NOVA sebagai single bar association berwenang menyelenggarkaan hal terkait pendidikan, kursus dan pelatihan, ujian, pelantikan, penyumpahan untuk mempunyai sertifikat advokat, bekerjasama dengan pemerintah c.q. Menteri Kehakiman, sebagaimana tertuang dalam Pasal 9c Advocaten Wet.

Ujian advokat mengikutsertakan peran negara c.q. pemerintah (5 Anggota Dewan Gubernur -3 diangkat Menteri Kehakiman, 2 diangkat Majelis Delegasi-) dalam penyelenggaraan kursus/pelatihan dan ujian advokat yang tercantum dalam Pasal 9d Advocaten Wet. Anggota Board of Governors menjabat selama 4 tahun dan hanya boleh ditunjuk satu kali saja. Di Inggris sebagai perbandingan pengawasan yang dilakukan menuntut keterlibatan negara berdasarkan Pasal 2 Solicitor Act 1974.

Pengawasan dilakukan atau diselenggarakan oleh Lord Chief Justice (kepada Peradilan dan Pimpinan Pengadilan Inggris dan Wales) dan Master of The Rolls (Hakim Kedua Tertinggi setelah Lord of Chief Justice), yang keduanya berperan sebagai yang membuat peraturan “training regulations” yang harus sama-sama mereka setujui. Setelah mereka mengajukan persetujuan dari Lord Chancellor harus melalui persetujuan dan konsultasi Secretary of State terlebih dahulu.

Adapun larangan Bar association tidak boleh terlibat dalam komersialisasi kursus dan ujian advokat, karena secara prinsip, organisasi harus hidup dari iuran anggotanya (membership dues) dan bukan dari komersialisasi kursus/pelatihan dan ujian advokat. Penyelenggaraan keuangan organisasi pun harus transparan dan akuntabel sebagaimana kaidah-kaidah Good Governance dan Bar association tidak boleh begitu saja memutuskan sendiri fee solicitor, biaya ujian dan kursus, tetapi harus mendapatkan persetujuan Legal Services Board yang terdiri dari Lord of Chancellor, Chief Executive of Board dan anggota lainnya yang dipilih oleh Lord of Chancellor sebagaimana yang dilakukan Inggris dalam Legal Services Act.

*)Prof. Dr. Frans H. Winarta, Managing Partner Lawfirm Frans Winarta & Partners dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Catatan Redaksi:

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait