Sejarah Tiga Firma Hukum era 1980-an dan 'Torehan' Bang Buyung
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

Sejarah Tiga Firma Hukum era 1980-an dan 'Torehan' Bang Buyung

Adnan Buyung Nasution & Associates berjasa mempertemukan pada pendiri LGS dan HHP. LBH pun tak kalah penting karena "melahirkan" para pendiri LSM.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Meski sebuah firma hukum mengalami perpecahan, menurut Timur, semakin lama mereka semakin dewasa pula menyikapinya. Apalagi, dalam bisnis law firm, seorang klien tidak lagi melihat nama besar kantor hukum tempat mereka bernaung sebelumnya, melainkan dengan sendirinya akan mengikuti lawyer yang berjasa memberikan advis bagi mereka.

 

Sejak awal berdiri, HHP mantap bermitra dengan firma hukum asing terbesar di dunia, Baker & McKenzie. Timur mengungkapkan, dahulu, aliansi semacam ini disebut correspondence office atau member firm. Waktu itu belum banyak firma hukum lokal yang melakukannya, sehingga sebagai lawyer muda, ia merasa "tertantang" untuk bergabung dengan HHP.

 

"Waktu itu baru kita saja. Kita yakin bahwa kita mampu, dengan kemampuan kita untuk menguasai law firm Indonesia dengan sempurna yang akan membawa benefit kepada klien-klien yang bisa di-refer ke kita. Dan, kita bisa belajar dari perkembangan hukum yang ada di luar. Itu yang jadi attractiveness kenapa saya kemudian ikut ke HHP," tuturnya.

 

Kini, HHP telah beregenerasi. Mereka yang dahulu para associate muda, dengan prestasi mereka, dapat menjadi partner di HHP (open partners). Sementara, dari dua orang pendiri HHP, hanya Sri Indrastuti Hadiputranto yang tersisa. Perempuan yang akrab disapa "Tuti" itu pun sudah memasuki masa pensiunnya pada 2016.

 

Hukumonline.com

Tuti Hadiputranto pensiun dari HHP tahun 2016. Di sebelah kiri Tuti, berambut putih adalah Timur Sukirno. Foto: Dokumentasi HHP.

 

Jalur LBH

Meski tidak lahir melalui "rahim" ABNA seperti LGS, HHP, para pendiri Lubis, Santosa, Maulana (LSM) sama-sama pernah merasakan kepemimpinan Bang Buyung di LBH. Bang Buyung merupakan pendiri LBH. Sementara, Todung dan Lelyana merupakan alumni LBH yang kini berkiprah sebagai advokat, baik di litigasi maupun nonlitigasi. Baca Juga: ABNA, Cikal Bakal Lahirnya Kantor Advokat Modern Generasi Kedua

 

Sebelum membuka kantor hukum, Todung banyak menghabiskan waktunya sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Ia sempat menjadi Direktur bidang Non Litigasi LBH Jakarta periode 1980-1983 dan menjadi anggota Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Todung juga pernah mendirikan Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (YAPUSHAM).

 

Di samping kesibukan Todung sebagai aktivis, ia berhasil mendapatkan gelar master hukum dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Pada 1980, Todung kembali meraih gelar master hukum kedua dari Harvard Law School, Amerika Serikat. Kemudian, pada 1984, awalnya Todung mendirikan kantor hukum bernama Mulya Lubis & Associates (MLA).

 

Todung mengajak koleganya di LBH, Lelyana untuk bergabung dengan MLA. Kantor pertama Todung tidak besar. Mantan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara saat itu memberikan MLA sebuah ruangan di Mayestik. Lalu, MLA pindah ke Wijoyo dan menyewa sebuah ruangan. Mengingat harga sewa yang cukup mahal, MLA pindah lagi ke Kemang.

 

Masih sama seperti sebelumnya, bangunan kantor yang disewa MLA di Kemang adalah milik Alamsjah. Setelah beberapa lama berkantor di Kemang, Todung memutuskan pindah ke Mayapada Tower. Cukup lama MLA menyewa ruang kantor di Mayapada Tower, sampai akhirnya MLA dapat membeli ruang kantor sendiri di Equity Tower, SCBD.

 

Todung menceritakan, ketika masih di LBH, ia pernah mendapat tawaran dari Bang Buyung untuk bekerja di kantor hukumnya. Namun, Todung mengaku ingin lebih fokus di LBH. Kemudian, ketika hendak merintis kantor hukumnya sendiri, Todung kembali diajak Bang Buyung untuk bergabung di kantor hukumnya.

 

"Dia (Bang Buyung) waktu itu sudah kembali dari Belanda. Saya bilang, sudahlah, saya bikin sendiri saja. Walaupun saya akan mulai dengan (kantor hukum) kecil, saya mau merintis pendirian law firm ini. Jadi, akhirnya saya tidak jadi gabung sama Buyung. Yang diajak gabung oleh Buyung waktu itu, Frans Hendrawinata," katanya.

 

Alhasil, Todung mendirikan kantor hukumnya sendiri yang bernama MLA. Kala itu, partner sekaligus pemilik hanya Todung seorang. Pekerjaan pertama yang ditangani lebih banyak fokus pada corporate work. Jadi, MLA menawarkan bantuan-bantuan, seperti legal service kepada perusahaan-perusahaan. Sistem pembayarannya pun masih retainer.

 

Ketika baru setahun mendirikan kantor hukum, Todung pergi mengambil program doktoral di luar negeri. Selama berada di luar negeri, Lelyanalah yang menjalankan MLA. Sekembali dari luar negeri, Todung mulai membangun kembali kantor hukumnya. Baru, sekira tahun 1986, Todung mengubah nama kantor hukumnya menjadi Mulya Lubis & Partners (MLP). Waktu itu, partner di kantor hukum Todung bertambah dua, Lelyana dan Insan Budi Maulana.

 

Tentu, Todung tidak mau egois dan tidak ingin hanya namanya yang muncul sebagai nama kantor. Karena itu, pada tahun 1990, ia mengubah nama MLP menjadi Lubis, Santosa, Maulana (LSM). Nama Lubis, jelas diambil dari nama belakang Todung, sama halnya dengan Maulana. Sementara, Lelyana menggunakan nama belakang suaminya, Ahmad Santosa.

 

Hukumonline.com

Lelyana Santoso. Repro: Nov

 

Lantas, dari mana nama LSM tersebut? Ternyata, Todung memiliki kisah tersendiri mengenai pemilihan nama LSM. Nama LSM bukan sekadar diambil dari nama masing-masing partner, tetapi Todung terinspirasi dari pengalamannya yang cukup lama di lembaga swadaya masyarakat (LSM).

 

"Karena saya ini bekerja di LSM cukup lama, di LBH, daripada yang lain. Nah, darah daging saya sudah LSM. Ketika kita memutuskan untuk membentuk partnership dengan nama baru, saya menemukan nama LSM itu. Jadilah dia Lubis, Santosa, Maulana. Jadi, orang kan suka bingung, ini LSM dari mana? Padahal, ini LSM law firm. Lain ya, berdasi dan berjas," ujarnya sambil tersenyum.  

 

Meski penggunaan nama LSM kerap memunculkan kebingungan bagi calon klien, tetapi Todung merasa lama-kelamaan nama LSM sudah semakin dikenal sebagai merek dagang. Orang-orang pun sudah mengetahui bahwa LSM adalah sebuah kantor hukum. Dalam perjalanannya, LSM sempat bermitra dua kali dengan firma hukum asing. Walau Todung enggan menyebutkan firma hukum asing apa yang bermitra dengan LSM, ia mengungkapkan bahwa kemitraan itu berlangsung pada tahun 1992 dan 2001.

 

Setelah lebih dari 20 tahun bermitra, Insan Budi Maulana memutuskan "berpisah" dan mendirikan kantor hukum sendiri. Kepergian Insan ini berimbas pada komposisi nama LSM. Nama yang tersisa hanya "LS", sedangkan "M" sudah tidak ada lagi. "Akhirnya kita juga mikir siapa. Pas, kebetulan ada aplikasi masuk dari Teguh Maramis. Kita waktu itu, sudah, biarlah, ini kan peluang untuk menghidupkan LSM tetap ada," tutur Todung.

 

Dengan bergabungnya Teguh Maramis sebagai partner pada 2012, nama LSM kembali utuh. Kantor hukum ini dapat menggunakan nama LSM dengan mengambil nama belakang Teguh Maramis. LSM yang sebelumnya merupakan akronim dari Lubis, Santosa, Maulana berganti menjadi Lubis, Santosa, Maramis.

 

"Akhirnya kita ngomong, oke sekarang Anda masuk ke sini jadi partner. Nama kita LSM, tapi LSM yang original sudah hilang Maulana-nya. Jadi, kita mau minta nama dia. Kita juga sudah janji, sudah bikin kesepakatan, dengan atau tanpa saya, Lely, tanpa Teguh Maramis, nama LSM tetap bisa dipakai. Sama seperti Makarim & Taira. Sama seperti nama MKK. Kita sudah sepakat, nama LSM menjadi trade name, service name. Jadi, itu sudah didaftarkan," terangnya.

 

Hukumonline.com

 

Pengaruh Bang Buyung

Meski "lahir" dari jalur berbeda, para pendiri LSM, LGS, dan HHP tidak bisa dilepaskan dari "torehan" Bang Buyung dan kantor hukumnya. Pengaruh Bang Buyung "merasuk" ke dalam ketiga kantor hukum tersebut. LSM mungkin agak sedikit berbeda. Sebab, para pendirinya merupakan "lulusan" LBH yang dahulu kerap bersinggungan dengan hak-hak kaum minoritas dan HAM. 

 

Saat Todung menjadi Direktur LBH, Lelyana adalah pembela umum di LBH. Selepas dari LBH, Lelyana sempat bekerja di sebuah kantor hukum. Kemudian, Todung mengajak Lelyana untuk bergabung di kantor hukumnya. Ia pun bersedia bergabung karena merasa memiliki kesamaan ideologi dengan Todung.

 

"Dalam arti, kita sepakat bahwa walaupun kita punya kantor yang komersial, kita masih menyisihkan tenaga dan waktu untuk hal-hal yang sifatnya tidak komersial, misalnya kita membela kaum minoritas, dan sebagainya," katanya. Baca Juga: ABNR ‘Pendobrak’ Standar Praktik Firma Hukum di Indonesia

 

Rupanya ideologi ini sudah terpatri dalam diri Lelyana dan Todung. Bahkan, kedekatan Todung dan Bang Buyung terlihat dalam berbagai momen. Belum lepas dari ingatan, sebelum Bang Buyung meninggal, advokat senior berambut "perak" ini sempat menuliskan pesan kepada Todung dalam secarik kertas. Isinya, ia berpesan "jagalah LBH/YLBHI, teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas".

 

Lelyana berpikir, Bang Buyung merupakan idola setiap lawyer. Ia menganggap, selain andal secara legal, Bang Buyung memiliki hati nurani dan sensitif, dalam arti sangat demokratis. "Dia (Bang Buyung) tidak membedakan-bedakan orang, apakah secara etnis, apakah secara seksual, apa saja, miskin, kaya. Itu kita sudah tertanam dari dulu bahwa kita adalah orang yang demokratis. Kita harus menghargai keberagaman. Itu tidak bisa hilang. Jadi, orang-orang, lebih itu dari dulu sudah ditanamkan itu," ujarnya.

 

Lain LSM, lain pula dengan HHP. Timur mengatakan, Bang Buyung jelas memiliki pengaruh terhadap para pendiri HHP. Ia melihat, pengaruh Bang Buyung cukup kuat. Namun, di sisi lain, Bang Buyung dianggap bukan corporate lawyer. Ia menilai, secara kultur corporate lawyer, masih banyak yang lebih baik. "Karena Bang Buyung juga punya fokus sendiri. LBH-nya dan politiknya, kayak gitu-gitu. Yang mana, di sini, yang nonlitigasi, yang mengerjakan waktu itu, lebih ke arah profesionalisme terhadap pekerjaan yang mereka terima," ucapnya.

 

Walau begitu, bukan berarti Bang Buyung tidak profesionalis. Timur menegaskan, Bang Buyung sangat profesional. Hanya saja, arahnya berbeda. Kalau nonlitigasi ini arahnya lebih kepada bisnis dalam rangka membantu klien, baik itu klien luar negeri, dalam negeri, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berhadapan dengan asing.

 

"Dia (Bang Buyung) pengaruhnya membuat landasan buat mereka semuanya untuk jadi launching pad. Bang Buyung adalah the launching pad untuk yang lain-lainnya," imbuhnya.

 

Pengaruh Bang Buyung, khususnya sebagai salah satu pendiri law firm modern di masa itu, dirasakan juga oleh para pendiri LGS. Kiki Ganie mengaku, dunia memerlukan modern law firm dan partnership. Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian? Ia mengambil perumpamaan, orang tua yang selalu menasihati anaknya agar independen. Namun, pada akhirnya, orang tua tersebut malah mengharapkan anaknya tetap tinggal dan tidak ke luar dari rumah. Kalau seperti itu, si anak tidak akan punya rumah sendiri.

 

Testimoni Kiki Ganie tentang sosok Adnan Buyung Nasution

 

Meski demikian, Kiki Ganie menyimpan kekaguman terhadap Bang Buyung. Ia melihat Bang Buyung sebagai orang yang cepat tanggap. Bang Buyung yang awalnya tidak tahu apa-apa, bisa cepat mengerti dengan hanya mendengar sedikit penjelasan. Bahkan, kadang kala, Bang Buyung bisa lebih pintar dari orang yang menjelaskan.

 

Tak hanya kagum dengan karakter Bang Buyung, Kiki Ganie juga sempat takjub dengan sosok Bang Buyung. Sembari tertawa geli, Kiki Ganie mengingat dirinya pernah mencoba meniru penampilan rambut "perak" Bang Buyung.

 

"Yang jelas, dia sama hitamnya sama saya. Dan, dulu saya niru-niru, rambut saya dulu mau putih kayak Bang Buyung, tapi umurnya belum dapat. Hitamnya sudah kan, jadi (tinggal rambut) dicat waktu itu. Gayanya rambut sama. Pada suatu saat, sudah pikir ya untuk apa juga, mau biasa lagi sudah tidak bisa. (Rambut) sudah rusak karena catnya. Jadi, tanpa dicat pun, grey (abu-abu) juga," selorohnya.

Tags:

Berita Terkait