Sejumlah Aturan Pembatasan Minuman Beralkohol di Indonesia
Berita

Sejumlah Aturan Pembatasan Minuman Beralkohol di Indonesia

Ketentuan pengendalian miras terdapat pada berbagai peraturan, baik di tingkat pusat dan daerah.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi Foto: RES
Ilustrasi Foto: RES

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja mencabut lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Penanaman Modal (BUPM) berkaitan pembukaan investasi minuman keras mengandung alkohol. Pencabutan lampiran tersebut dilakukan untuk merespons penolakan masyarakat terhadap rencana pemerintah membuka investasi industri minuman keras di beberapa provinsi seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Sulawesi Utara.

Minuman beralkohol masuk ke dalam Lampiran III Perpres 10/2021. Pada daftar yang memuat 46 bidang usaha dengan persyaratan tertentu turut memasukkan Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI 11010), Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur (KBLI 11020), dan Industri Minuman Mengandung Malt (KBLI 11031) ke dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan bahwa ketiga jenis ini penanaman modalnya baru dapat dilakukan pada provinsi-provinsi tersebut dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Di luar hal tersebut, Kepala BKPM dapat menetapkan daerah lain berdasarkan usulan dari gubernur.

Di samping itu, masyarakat perlu memahami regulasi pembatasan konsumsi dan distribusi minuman beralkohol yang berlaku pada perundang-undangan. Dalam siaran persnya, Center Indonesia Policy Studies menyampaikan ketentuan pengendalian miras terdapat pada berbagai peraturan, baik di tingkat pusat dan daerah. (Baca: Presiden Cabut Lampiran Perpres 10/2021 Soal Minuman Keras)

1 – Peraturan Presiden (Perpres) No.74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol

Perpres 74/2013 menyatakan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2HSOH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi. Kemudian, beleid tersebut juga memuat tentang defenisi minuman beralkohol tradisional yang pengertiannya adalah dibuat secara tradisional dan turun temurun yang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu-waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan.

Pasal 7 Perpres 74 Tahun 2013 memuat minuman beralkohol golongan A (kadar etil alkohol atau etanol sampai 5 persen, golongan B (kadar 5-20 persen), dan golongan C (kadar 20-55 persen) hanya dapat dijual di hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan. Penjualan juga dapat dilakukan pada toko bebas bea dan tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Penjualan dan/atau peredaran yang ditentukan kepala daerah tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit. Selain itu, penjualan minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal, Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol di tempat. Dan, penjualannya dilakukan terpisah dengan barang-barang jualan lainnya.

2 - Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, Dan Penjualan Minuman Beralkohol beserta perubahan-perubahannya hingga yang terbaru di Permendag No. 25 Tahun 2019.

3 - Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang telah diperbaharui melalui Peraturan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2016.

4 - Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol khas NTT atau yang dikenal dengan nama sopi. 

Patut Diperhatikan

Sebelumnya, Gubernur Bali, I Wayan Koster, bahkan sudah terlebih dahulu menyatakan apresiasinya karena Perpres tersebut memperkuat Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.

Namun, peneliti CIPS, Pingkan Audrine Kosijungan, mengatakan regulasi pembatasan minuman beralkohol tersebut patut diperhatikan agar masyarakat dan aparat keamanan juga terinformasikan dengan benar dan tidak terbawa oleh polemik yang terjadi di publik saat ini.

“Pemahaman yang memadai oleh aparat dan masyarakat sangat diperlukan supaya tidak terjadi aksi-aksi yang nantinya berdampak negatif pada kondusivitas situasi dan kondisi dalam negeri. Situasi yang kondusif saat ini sangat dibutuhkan sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi,” terang Pingkan, Selasa (2/3).

Namun, Presiden Jokowi mencabut ketentuan dalam Lampiran III Perpres 10/2021 tersebut, setelah menerima masukan dari berbagai pihak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang di dalamnya mengatur izin investasi miras. Perpres tersebut merupakan salah satu aturan pelaksana tentang UU Cipta Kerja.

"Bersama ini saya sampaikan saya putuskan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Presiden Jokowi dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden yang dilihat di Jakarta, Selasa.

"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," ungkap Presiden seperti dilansir Antara, Selasa (2/3).

Secara terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat M Cholil Nafis mengemukakan bahwa kearifan lokal tidak bisa dijadikan sebagai dalih untuk melegalkan minuman keras (miras). "Tidak bisa atas nama kearifan lokal atau sudah lama ada, maka dipertahankan. Saya secara pribadi menolak terhadap investasi miras meskipun dilokalisir menjadi empat provinsi saja," katanya.

Cholil berpendapat pembukaan industri miras akan memberikan keuntungan kepada segelintir orang namun akan menimbulkan kerugian besar bagi masa depan rakyat. "Saya pikir harus dicabut kalau mendengarkan pada aspirasi rakyat, karena ini tidak menguntungkan untuk masa depan rakyat. Mungkin untungnya bagi investasi iya, tapi mudaratnya bagi investasi umat," kata dia.

"Karena kita larang saja masih beredar, kita cegah masih lolos, bagaimana dengan dilegalkan apalagi sampai eceran dengan dalih empat provinsi, tapi, kan, nyebar ke provinsi lain, karena hasil investasi tak sebanding dengan rusaknya bangsa ini," katanya.

Tags:

Berita Terkait