Sekjen Mahupiki: Penegakan Hukum di 2023 Masih Berjalan Lamban
Terbaru

Sekjen Mahupiki: Penegakan Hukum di 2023 Masih Berjalan Lamban

Penyelenggara negara dari unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif tersandung kasus hukum, hingga terpuruknya kepercayaan publik terhadap KPK. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana harus segera dibahas antara DPR dengan pemerintah hingga disahkan menjadi UU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Azmi Syahputra. Foto: Istimewa
Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Azmi Syahputra. Foto: Istimewa

Berbagai peristiwa hukum sepanjang tahun 2023 menjadi potret betapa penegakan hukum mesti berjalan cepat menumpas berbagai jenis tindak pidana. Tingginya kasus kejahatan di yang terjadi di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislastif menjadi warning bagi penegak hukum.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Azmi Syahputra berpandangan tingginya kasus kejahatan di lembaga eksekutif setingkat menteri melakukan dugaan korupsi. Begitpula hakim agung beserta ‘gerombolannya’ yang terlibat hingga perampokan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) hingga mencapai triliunan rupiah.

Termasuk penjahat terselubung jabatan, hukum yang diperdagangankan, rangkap jabatan, polemik dana asuransi, judi online hingga rekayasa hukum secara instrumental maupun penyimpangan kewenangan yang dilakukan penyelenggara negara. Serta terpuruknya kepercayaan masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi antagonis.

“Sekaligus potret buruk penegakan hukum Indonesia sepanjang tahun 2023,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada Hukumonline, Jumat (29/12/2023).

Baca juga:

Dia menilai, beragam kasus yang terjadi menjadi fakta nyata yang dapat ditelusuri. Yakni terdapat hubungan korelatif perilaku menyimpang dari penyelenggara negara terhadap rapor merah  penegakan hukum dengan cara melakukan korupsi ataupun perbuatan melawan hukum lainnya yang terjadi akibat menggunakan UU yang kontroversial.

Misalnya, UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu,  lemahnya penegakan peraturan dan ketiadaan pengawasan maupun hal hal -baru yang belum diatur. Seperti pengaturan tentang perampasan aset sebagaimana dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana yang nasibnya belum mengalami kemajuan di parlemen. Termasuk minimnya komitmen politik untuk bekerja sama guna mengedepankan kepentingan nasional.

Tags:

Berita Terkait