Seluk-beluk Jaminan Produk Halal dalam UU Cipta Kerja
Utama

Seluk-beluk Jaminan Produk Halal dalam UU Cipta Kerja

Perubahan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja berkenaan dengan sektor halal bertujuan untuk mempercepat dan memperluas layanan sertifikasi halal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Hukumonline.com

Sumber: Materi Siti Aminah

Siti menerangkan PP 39/2021 menerangkan terdapat ketentuan mengenai pelaku usaha mikro dan kecil dalam proses pengajuan sertifikasi halal. Sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil didasarkan atas pernyataan (self-declare) pelaku usaha mikro dan kecil. Ketentuan tersebut berlaku bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan bersih atau memiliki hasil penjualan tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.

Standar halal paling sedikit terdiri atas adanya pernyataan pelaku Usaha yang berupa akad/ikrar yang berisi kehalalan produk dan Bahan yang digunakan dan Proses Produksi Halal (PPH) serta adanya pendampingan PPH. Kemudian, kriteria pelaku usaha yang dapat memanfaatkan self-declare tersebut yaitu produk tidak beresiko, bahan sudah pasti kehalalannya serta proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.

Hukumonline.com

Sumber: Materi Siti Aminah

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Gemala Dewi, menerangkan esensi utama UU JPH adalah memberi keamanan dan kenyamanan. Jadi, pelbagai kekhawatiran yang ada selama ini terkait produk tanpa sertifikasi halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi UU ini. Penting pula dicatat bahwa secara normatif, masyarakat sudah memiliki dasar untuk menuntut para produsen yang selama ini tidak peduli mencantumkan label halal pada produknya.

Menurut Gemala, UU Cipta Kerja hadir dengan fleksibilitas peraturan perundang-undangan, memberikan penyederhanaan perizinan berusaha dan proses bisnis. Dalam kaitannya dengan JPH, UU tersebut memberikan banyak implikasi positif, di antaranya percepatan layanan sertifikasi halal, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal bagi UMK, penataan kewenangan, kepastian hukum, dan mendorong pengembangan ekosistem halal di Indonesia.

“Implikasi kewajiban adalah agar tidak ada lagi pihak-pihak yang tidak peduli akan kehalalan produknya dan berusaha berlindung di balik pro-kontra sertifikasi halal,” jelas Gemala.

Dia menjelaskan kewajiban pelaku usaha untuk menjamin kehalalan produknya ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim di Indonesia. Sebagaimana diketahui, konsumen memiliki bargaining position yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, sehingga dalam UU JPH, pelaku usaha yang tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi hukuman yang bervariatif mulai dari sanksi administratif hingga sanksi pidana tergantung tingkat pelanggarannya,” jelas Gemala.

Tags:

Berita Terkait