Sembilan Kebijakan yang Perlu Ditempuh Demi Lindungi Hutan Primer dan Gambut
Berita

Sembilan Kebijakan yang Perlu Ditempuh Demi Lindungi Hutan Primer dan Gambut

Yang terpenting, evaluasi/kaji ulang semua izin prinsip dan eksplorasi dari Menteri Kehutanan, serta evaluasi semua izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dari aspek kepatuhan hukum dengan melibatkan KPK.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: SGP
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: SGP

Presiden Jokowi Widodo mengatakan krisis iklim dan kerusakan lingkungan menjadi ancaman dunia. Bahkan Indonesia termasuk negara yang rawan bencana alam. “Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayah rentan bencana. Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, kebakaran hutan, banjir,” kata Jokowi dalam pidato kenegaraan di gedung DPR/MPR, Jumat (16/8) kemarin.

 

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut. Salah satunya, menerbitkan Inpres No.5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Beleid yang dikeluarkan 7 Agustus 2019 itu untuk menyelamatkan keberadaan hutan alam primer dan lahan gambut serta menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya, mengatakan melalui Inpres No.5 Tahun 2019 ini pemerintah menghentikan izin baru di lahan hutan primer dan lahan gambut. Dalam peraturan sebelumnya, pemerintah hanya melakukan moratorium terhadap pemberian izin baru. Teguh menilai kebijakan ini langkah maju Presiden Jokowi.

 

Namun, sejak 9 tahun kebijakan moratorium ini bergulir dari tahun 2011 sampai dibuat permanen tahun 2019, belum terlihat penguatan cakupan dan tingkat perlindungan seluruh hutan alam dan lahan gambut yang tersisa di Indonesia. Inpres No.5 Tahun 2019 masih terbatas pada hutan alam primer saja. Padahal, kata dia, untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, sangat penting turut melindungi hutan alam sekunder yang kaya karbon, keanekaragaman hayati, dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan lokal.

 

Menurut Teguh, Inpres No.5 Tahun 2019 masih ada celah karena mengatur pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan lahan gambut. Apalagi Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak diterapkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengecualian yang sangat melemahkan komitmen perlindungan hutan alam dan lahan gambut yakni pengecualian terhadap permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dari Menteri Kehutanan sebelumnya yang diberikan sebelum 20 Mei 2011.

 

Selain itu, pengecualian perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada. “Seharusnya klausul persetujuan prinsip ini dihilangkan karena sudah berjalan lebih dari delapan tahun, bukan justru ditambah dengan izin eksplorasi,” kata Teguh saat dikonfirmasi, Jumat (23/8/2019). Baca Juga: Pemerintah Stop Pemberian Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut

 

Teguh juga menyayangkan karena Presiden Jokowi sampai saat ini belum memberi instruksi yang jelas dan tegas untuk mengkaji ulang perizinan dan melakukan penegakan hukum. Selama ini, dua hal tersebut tidak pernah tuntas dilakukan, sehingga menyebabkan Indonesia merugi hingga triliunan rupiah dari praktik buruk pengelolaan hutan.

 

Guna melanjutkan upaya perlindungan hutan dan gambut, Teguh mengusulkan pemerintah menempuh 9 kebijakan. Pertama, mengkaji hutan alam sekunder yang paling terancam dan harus dilindungi untuk dimasukkan dalam cakupan perlindungan Inpres No.5 Tahun 2019. Kedua, membangun mekanisme pemantauan kolaboratif terhadap pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2019 di antara pemerintah dan masyarakat sipil, akademisi dan kelompok kepentingan (interest groups) termasuk dalam proses revisi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) setiap 6 bulan.

 

Ketiga, segera melakukan kaji ulang/evaluasi perizinan terhadap permohonan lahan yang telah mendapat persetujuan izin prinsip dan izin eksplorasi dari Menteri Kehutanan pada pemerintahan sebelumnya dengan melibatkan KPK dan menghilangkan klausul ini dari daftar pengecualian.

 

Keempat, segera memasukkan diktum yang mengatur kaji ulang/evaluasi perizinan menyeluruh terhadap semua izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dari aspek kepatuhan terhadap hukum dan aspek persyaratan kelestarian sesuai rekomendasi KPK dalam Laporan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.

 

Kelima, memasukkan agenda harmonisasi dan sinkronisasi regulasi hutan dan gambut dengan melibatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai leading sector bersama kementerian dan lembaga terkait dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil.

 

Keenam, membangun mekanisme untuk meningkatkan akses data dan informasi bagi publik dan masyarakat sipil agar dapat melakukan pengawasan secara efektif, terutama data spasial yang dapat dianalisis terkait tutupan hutan dan lahan, izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Termasuk persetujuan prinsip dan izin eksplorasi yang dikecualikan dari kebijakan ini, serta revisi PIPPIB beserta alasan berkurang/bertambahnya wilayah PIPPIB.

 

Ketujuh, melibatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pihak yang diinstruksikan dalam Inpres Moratorium Hutan/Lahan. Kedelapan, Presiden segera memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk kebijakan ini, apakah dengan menerbitkan kebijakan ini dalam bentuk regulasi seperti Peraturan Presiden atau segera mengintegrasikan wilayah yang dilindungi Inpres No. 5 Tahun 2019 ini ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

 

Kesembilan, memasukkan perhutanan sosial secara eksplisit ke dalam pengecualian kebijakan ini karena perhutanan sosial adalah bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi Presiden Joko Widodo. Kebijakan ini perlu termaktub dalam regulasi Proyek Strategis Nasional (PSN), serta dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 sebagai salah satu prioritas dalam pengentasan kemiskinan.

 

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan kebijakan penghentian pemberian izin kelola baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, ditetapkan setelah pemantauan terus menerus, serta perkembangan dan evaluasi pelaksanaan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 sampai Inpres Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

 

Areal penundaan pemberian izin tersebut digambarkan secara spasial dalam PIPPIB) yang diperbarui setiap enam bulan sekali. Menurut Siti Nurbaya, penerapan Inpres telah berlangsung selama delapan tahun dengan 15 kali pembaharuan. “Kalau kita lihat sudah berlangsung penundaan izin dengan empat kali Inpres yaitu 10/2011, 6/2013, 8/2015 dan 6/2017,” kata diaRabu (7/8) lalu.

 

Telaah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap data seri analisis luas areal penundaan pemberian izin baru menunjukkan bahwa luas areal PIPPIB sudah agak konstan di angka sekitar 66 juta hektar.

 

Menurutnya, luas deforestasi dalam areal penundaan menurun signifikan (penurunan ditambah 38 persen) dan tata kelola hutan alam primer sudah lebih baik dengan indikasi luas PIPPIB yang tetap, angka deforestasi menurun, dan adanya perubahan dalam rencana pengusahaan hutan tanpa mengganggu jalannya produktivitas.

 

Siti Nurbaya mengatakan, pemerintah telah banyak menerbitkan peraturan untuk menjaga tata kelola lahan gambut dan penegakan hukum terkait lingkungan hidup dan kehutanan sudah berjalan baik. Wilayah penghentian pemberian izin baru menjadi potensi pembayaran berdasarkan hasil dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD+ sejalan dengan penerapan kebijakan pemberian insentif pengendalian perubahan iklim sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan.

 

Wilayah penghentian pemberian izin kelola baru juga menjadi target pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dari sektor kehutanan. Siti menambahkan penetapan regulasi terkait hutan primer vegetasi alam yang lebat dan lahan gambut hanyalah konfirmasi karena sebenarnya sudah dijalankan, artinya memang tidak ada lagi pemberian izin kelola di kawasan tersebut.

Tags:

Berita Terkait