Setara Institute Persoalkan Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Utama

Setara Institute Persoalkan Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Mekanisme non-yudisial yang ditempuh dinilai malah menjadi bentuk pengampunan massal dan ‘cuci tangan’ negara serta melembagakan impunitas semakin kukuh dan permanen.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Bahkan, kata hendardi, bagi para pejabat dan lingkaran kekuasaan yang selama ini tersandung tuduhan pelanggaran HAM, terus menerus gagal dalam pencapresan. Menurutnya, mekanisme non-yudisial menjadi bentuk pengampunan massal dan ‘cuci tangan’ negara serta melembagakan impunitas semakin kukuh dan permanen. Padahal, semestinya negara membuka lagi persetujuan yang dibuatnya sendiri terkait rekomendasi Universal Periodic Review PBB, 2017 untuk menguatkan komitmen dan meneruskan usaha melawan impunitas.

“Langkah aktual yang dipilih pemerintah justru vice versa atau berkebalikan dengan komitmen negara terhadap dunia internasional,” katanya.

Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute Sayyidatul Insiyah melanjutkan argumentasi Keppres tak akan menutup peluang penyelesaikan melalui jalur yudisial hanya retorika sejenak. Bahkan secara politik, hanya ‘hiburan’ bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Menurutnya, di tengah konfigurasi kekuasaan yang tidak memiliki perhatian pada penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM di masa mendatang bakal semakin kehilangan dukungan politik.

Sayyidatul menerangkan Tim Paham hanyalah panitia bentukan Presiden Jokowi dalam memberikan santunan kepada korban. Tujuannya, kata Sayyidatul, membungkam tuntutan dan aspirasi korban. Padahal, dalam hukum HAM internasional dan konsep transitional justice bukan hanya right to reparation (hak atas pemulihan) yang harus dipenuhi. Tapi pula right to truth, right to justice (hak atas keadilan) dan guarantees of non-repetition (jaminan ketidakberulangan).

“Keppres yang diterbitkan sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI ini bukan hanya harus ditolak, tetapi harus dipersoalkan secara hukum dan politik,” ujarnya.

Komitmen presiden

Terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin menampik kekhawatiran Setara Institute. Menurutnya, komitmen Presiden Jokowi menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM ebrat di masa lampau tak pernah luntur. Malahan Presiden meneguhkan komitmennya membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang ‘menyandera’ dan menguras energi bangsa.

Baginya, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum pengesahan UU 26/2000 dilakukan melalui dua pendekatan yakni yudisial dan non yudisial. Bila yudisial, presiden pun telah memerintakan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM melanjutkan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti halnya dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua pada 2014 silam. Berkas perkara kasus tersebut pun telah dilimpahkan ke pengadilan.

Tags:

Berita Terkait