Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia
Reformasi Peradilan:

Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia

Yurisprudensi adalah sumber hukum yang sangat penting bagi hakim. Undang-Undang menyebut pentingnya kemerdekaan hakim dalam memutus perkara.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, HM Syarifuddin (tengah) dan Adriaan Bedner (paling kiri) saat memaparkan pandangan dalam IJRF 2018 di Jakarta. Foto: RES
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, HM Syarifuddin (tengah) dan Adriaan Bedner (paling kiri) saat memaparkan pandangan dalam IJRF 2018 di Jakarta. Foto: RES

Cobalah buka kembali literatur hukum dan putusan hakim beserta anotasinya pada dekade 1950-an. Salah satu ciri dari khas dari tulisan itu adalah kekayaan pada yurisprudensi. Pengacara, hakim, jaksa, dan kalangan akademisi menaruh perhatian besar pada sumber hukum yang bernama yurisprudensi. Mahkamah Agung juga rajin menerbitkan buku kumpulan yurisprudensi meskipun hakikatnya dibuat untuk kebutuhan internal. Bisa dilacak betapa banyaknya analisis mengenai yurisprudensi tentang ‘perbuatan melawan hukum’ (PMH).

 

Peneliti hukum Indonesia asal Belanda, Adriaan Bedner, mengenang bahwa sejak era Hindia Belanda yurisprudensi telah menjadi salah satu khazanah keilmuan hukum. Demikian pula setelah kemerdekaan, hingga penghujung 1950-an. Kalangan akademisi dan praktisi menaruh perhatian besar pada putusan-putusan hakim. “Di tahun 1950-an, yurisprudensi  digunakan oleh kalangan pengacara atau hakim  dan dipelajari oleh profesor-profesor hukum (di Indonesia),” tutur Adrian kepada hukumonline.

 

Adriaan juga menyempatkan diri hadir dalam perhelatan Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF), sebuah ajang mempertemukan gagasan-gagasan mengenai reformasi peradilan di Indonesia yang digelar di Jakarta, 15-16 Januari 2018. Dalam forum ini dibahas antara lain urgensi yurisprudensi bagi hakim, termasuk korelasinya dengan sistem kamar yang kini dijalankan Mahkamah Agung.

 

Dari sisi keilmuan, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal yang diakui keberadaannya. Yurisprudensi berasal dari putusan-putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap terutama dari pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung). Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim terdahulu yang diikuti hakim lain dalam perkara yang sama. Yurisprudensi diakui tidak hanya di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon tetapi juga Eropa Kontinental seperti Belanda dan Indonesia.

 

Memang, ada perbedaan daya ikatnya bagi hakim pada kedua sistem hukum besar itu. Yurisprudensi di negara Anglo Saxon memiliki kekuatan mengikat, sebaliknya di negara-negara penganut Eropa Kontinental  yurisprudensi lebih memiliki “kekuatan persuasif”  bagi hakim. Meskipun demikian, nampaknya terdapat tantangan tersendiri dalam mewujudkan kepastian hukum melalui yurisprudensi di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental.

 

(Baca juga: 5 Putusan Pengadilan Terkait Kebakaran Lahan)

 

Menurut Adriaan Bedner, di Indonesia yurisprudensi sebagai sumber hukum menghadapi tantangan tersendiri. Sebab, masih ada hakim yang menganggap permintaan mengikuti putusan hakim terdahulu tidak perlu karena hakim bersifat mandiri dan bebas dari intervensi. Faktor historis, kata peneliti yang mendalami Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini, menjadi salah satu faktor keengganan menggunakan yurisprudensi. Ia melihat sejak dekade 1970-an penggunaan yurisprudensi semakin berkurang, terutama sebagai fokus kajian-kajian akademik. “Ada juga profesor yang mengajar bahwa sebetulnya yurisprudensi bukan satu sumber hukum karena Indonesia termasuk negara hukum Eropa Kontinental,” terang Adriaan, tanpa menyebut siapa profesor dimaksud.

 

Alasan kemandirian hakim itu pula yang disinggung  Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, HM Syarifuddin, di forum yang sama. Menurut dia, independensi hakim dalam memutus sebuah perkara telah diatur dalam Undang-Undang. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

 

Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka, putusan hakim di pengadilan bermuara kepada penegakan hukum dan tercapainya rasa keadilan masyarakat. Untuk itu menurut Syarifuddin, bukan hanya aspek kepastian hukum yang menjadi titik tekan dalam setiap putusan hakim di pengadilan, tapi juga hakim memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Untuk itu hakim akan sangat berhati-hati dalam memeriksa setiap perkara agar tidak sampai mengusik rasa keadilan masyarakat. “Sekali hakim ini salah (memutuskan), seumur hidup akan dihantui rasa bersalah. Banyak contoh perkara yang mengusik rasa keadilan ini,” ujar Syarifuddin di hadapan peserta diskusi, Senin (15/01).

 

Meskipun Adriaan menyebut ada pengurangan tensi perhatian pada yurisprudensi, sebenarnya Mahkamah Agung tetap menerbitkan putusan-putusan penting setiap tahun. Belakangan, Mahkamah Agung tak lagi menggunakan istilah yurisprudensi melainkan putusan-putusan terpilih.

 

(Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016)

 

Yurisprudensi dan Sistem Kamar MA

Upaya memperkuat basis yurisprudensi sebagai pijakan bagi hakim sebenarnya mendapat tempat setelah Mahkamah Agung menerapkan sistem kamar. Sistem kamar ditetapkan berdasarkan SK Ketua Mahkamah Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011. Sejak kebijakan ini terbit hingga sekarang sudah beberapa langkah perubahan yang ditempuh. Misalnya, membuat peta jalan (road map) implementasi sistem kamar, penyesuaian struktur unsur pimpinan MA yang ideal sesuai sistem kamar, dan perubahan tata kerja penanganan perkara.

 

Melalui sistem kamar itu pula seyogianya Mahkamah Agung semakin mudah mengumpulkan dan memilah yurisprudensi yang penting. Hasilnya bisa dijadikan pedoman keseragaman penerapan hukum untuk perkara sejenis. Ujungnya adalah konsistensi putusan-putusan hakim. Konsistensi putusan MA dipandang berhubungan langsung dengan terwujudnya kepastian hukum di Indonesia. Sebagai pembina keseragaman dalam penerapan hukum, putusan-putusan MA menjadi panduan bagi pengadilan-pengadilan di bawahnya saat memutus permasalahan hukum serupa. Panduan atau pedoman tersebut salah satunya dilakukan melalui yurisprudensi dari Mahkamah Agung.

 

Sejak berlakunya sistem kamar di MA, perkara yang masuk ke MA diklasifikasikan sesuai kamar yang ada untuk kemudian ditangani oleh Hakim Agung di kamar masing-masing. Dalam prosesnya, musyawarah Hakim Agung dalam kamar perkara saat menangani suatu perkara, seringkali diwarnai dengan perbedaan pendapat. Untuk itu dalam mengambil keputusan, mekanisme yang digunakan adalah dengan mengikuti suara terbanyak dari anggota yang hadir dalam musyawarah kamar.

 

Syarifuddin menjelaskan bahwa, setiap tahun MA mengadakan rapat pleno kamar. Setiap rapat pleno membahas dan menyamakan persoalan hukum baru yang lahir dari putusan kasasi atau peninjauan kembali (PK). Lalu, persoalan hukum ini menghasilkan kesepakatan rumusan kaedah (prinsip) hukum baru di masing-masing kamar yang dijadikan pedoman penanganan perkara bagi semua tingkat peradilan. 

 

Setiap hasil pleno kamar ini biasanya dituangkan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Misalnya, SEMA No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. SEMA hasil rapat pleno kamar tersebut kemudian disebarluaskan kepada hakim-hakim di tingkat banding dan tingkat pertama untuk diikuti.

 

Apakah semua Hakim Agung akan mentaati keputusan hasil rapat pleno kamar? Syarfuddin menggambarkan, para Hakim Agung yang sudah menyepakati hasil pleno kamar dalam perjalannya pun ternyata seringkali menyampaikan pandangan yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Hal ini dimungkinkan oleh Undang-Undang yang mengatur ketentuan dissenting opinion. “Alasan dissenting harus termuat di dalam putusan itu dan kita bisa baca,” terang Syarifuddin.

 

Hal-hal seperti ini kemudian diamati dalam waktu 1 tahun berjalan. Adakah perkembangan atau kasus-kasus hukum baru yang harus pecahkan, atau mungkin perbedaan pendapat yang sebelumnya ada telah mengerucut sehingga dapat diperbaiki melalui keputusan-keputusan pleno kamar di tahun berikutnya. “Jadi forumnya hanya pada rapat pleno kamar yang setahun sekali, bukan ketika memutus perkara serupa,” terang Syarifuddin saat menjelaskan mekanisme penanganan disparitas putusan Hakim Agung.

 

Selanjutnya, terkait penanganan terhadap kasus yang serupa dengan putusan yang pernah ada sebelumnya di MA. Hakim MA terikat kepada sistem kamar. Di dalam sistem kamar, terdapat ketentuan apabila akan membatalkan putusan kasasi atau putusan lain yang inkracht, sedang di antara hakim tidak bulat pendapatnya maka harus dibawa ke pleno kamar.  Jadi tidak langsung merujuk ke putusan yang sebelumnya melainkan terlebih dahulu dibawa ke pleno kamar untuk diberikan pandangan.

 

(Baca juga: MA dan MA Belanda Perpanjang Kerja Sama Fokus Pengembangan Sistem Kamar)

 

Yang perlu diperhatikan, rapat pleno kamar di sini hanya untuk memberi pandangan dan pendapat, pada akhirnya putusan itu tetap berada pada majelis. Kalau majelis berbeda pendapat maka kembali ke mekanisme yang mayoritaslah yang menjadi putusannya. “Nah mekanisme ini berjalan, jadi kenapa tidak langsung merujuk ke yang sebelumnya? Karena kasus itu walaupun sama tidak ada yang serupa,” terang Syarifuddin.

 

Masalah ini pernah diteliti Arsil. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) ini menjelaskan bahwa seringkali dalam kasus yang tidak serupa karena fakta dan peristiwanya yang berbeda, namun pertanyaan hukumnya cenderung sama. Misalnya, apakah kasasi bisa mengubah hukuman? Mengenai berat ringannya hukuman, Arsil menyebutkan belum adanya yurisprudensi yang mengatur terkait hal ini. Namun dalam praktiknya, kemudian berbeda-beda. Ada majelis yang memutus bisa memberatkan atau meringankan, dan ada majelis yang memutus tidak bisa. Artinya di kasus-kasus yang berbeda bisa jadi ada pertanyaan hukum yang sama. “Hal ini akan berdampak (pada kepastian hukum) walaupun tidak satu-satunya,” ujar Arsil.

 

Syarifudin menekankan perbedaan antara Indonesia dan Belanda. Di Belanda, ketika akan mengubah pidana yang akan dijatuhkan, apabila berkaitan dengan fakta maka dikembalikan ke judex facti tidak diputus oleh judex juris. “Tapi mungkin ada bedanya dengan kita,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait