Sikap Pelaku Industri Terhadap Tren Pembatasan Merek dan Kemasan Global
Utama

Sikap Pelaku Industri Terhadap Tren Pembatasan Merek dan Kemasan Global

Pembatasan merek dan kemasan polos mempengaruhi iklim persaingan usaha, terutama pelaku usaha kecil dan menengah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Kasubdit Transparansi Kesesuaian Peraturan dan Fasilitasi, Direktorat Perundingan Multilateral, Ditjen PPI, Kementerian Perdagangan RI, Danang Prasta mengatakan bahwa pada dasarnya WTO tidak mengatur secara eksplisit terkait pembatasan merek tersebut. Namun dengan alasan kesehatan, setiap negara anggota berhak menerbitkan regulasi, terutama untuk melindungi kesehatan publik atau lingkungan, selama tidak bertujuan menghambat perdagangan.

 

(Baca Juga: Mengintip Tata Cara Pendaftaran Merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis)

 

”Hal yang harus dicermati adalah jangan sampai regulasi tersebut menghambat perdagangan. Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di WTO untuk memonitor regulasi tersebut, dan mengamankan hak-hak Indonesia di negara tujuan ekspor,” tuturnya.

 

Menurut Danang, keterlibatan aktif Indonesia dalam pelaksanaan dan perundingan perjanjian perdagangan internasional di WTO sangat diperlukan guna melindungi merek Indonesia, khususnya di pasar internasional. Hal tersebut menjadi penting mengingat merek Indonesia yang beredar di pasar internasional juga merupakan salah satu unsur utama dari Nation Branding dan memiliki peran penting dalam peningkatan ekspor.

 

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengungkap bahwa pembatasan merek sudah berlaku untuk produk tembakau. Dalam PP No.109/2012, pemerintah mewajibkan produsen produk tembakau untuk mencantumkan peringatan kesehatan bergambar seram sebesar 40% dari total display kemasan. Bahkan, saat ini pihak Kementerian Kesehatan sedang mengusulkan untuk menaikkan komposisinya menjadi 90% kemasan tanpa alasan kajian yang jelas.

 

Kendati demikian, Henry mengaku jika pembatasan merek tersebut tidak berdampak kepada penurunan konsumsi rokok di Indonesia. Hanya saja ada risiko lain jika pemerintah memberlakukan pembatasan merek secara eksesif, yakni potensi peredaran rokok ilegal di Indonesia.

 

“Kami selaku pelaku usaha hanya memohon agar pemerintah adil. Kepentingan pengendalian melalui peringatan kesehatan 40% kemasan sudah kami terima dengan berbesar hati. Jangan sampai diperluas menjadi 90% bahkan merencanakan kemasan polos tanpa bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

 

Sebagai industri yang legal, Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki hak komunikasi sebagaimana Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 merujuk Pasal 28F UUD 1945. Henry turut berempati apabila kebijakan semacam ini diperlebar ke produk konsumsi lainnya. Menurutnya, kerugian yang paling besar akan dirasakan oleh pemerintah dan konsumen sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait