“Simalakama” Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng
Terbaru

“Simalakama” Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng

Pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng akan memengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Kebijakan ini akan mendistorsi pasar global, menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga serta berdampak pada hubungan Indonesia dengan mitra dagangnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi warga mengantre membeli minyak goreng murah. Foto: RES
Ilustrasi warga mengantre membeli minyak goreng murah. Foto: RES

Langkah pemerintah memperbanyak ketersediaan bahan baku dan minyak goreng di dalam negeri melalui kebijakan larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) bak buah simalakama. Industri dalam negeri dikhawatirkan tak mampu menyerap seluruh hasil produksi minyak goreng. Sehingga, kebijakan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara.

Pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng akan memengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Kebijakan ini akan mendistorsi pasar global, menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga serta berdampak pada hubungan Indonesia dengan mitra dagangnya.

“Kebijakan ini berpotensi menyebabkan kelangkaan pasokan CPO di pasar internasional dan menyebabkan kenaikan harga. Kondisi seperti ini akan menambah berbagai faktor yang menghambat upaya pemulihan ekonomi global, setelah invasi Rusia ke Ukraina dan krisis pangan yang menimpa banyak komoditas terutama minyak sayur,” terang Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, Selasa (26/4).

Ia juga menambahkan, kebijakan ini berpotensi memicu retaliasi atau pembalasan dari mitra dagang dan akan memengaruhi kestabilan harga komoditas kelapa sawit di pasar internasional.

Baca:

Felippa melanjutkan, sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan komitmennya pada kontrak-kontrak yang sedang berjalan antara produsen kelapa sawit dengan pembeli. Pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng dikhawatirkan dapat membuat komitmen tersebut tidak tercapai.

Jika banyak komitmen ekspor atau perdagangan yang tidak terpenuhi, maka Indonesia bisa terlihat seperti mitra dagang yang tidak bisa diandalkan. Padahal, saat ini Indonesia sebagai tuan rumah G20 punya posisi kuat untuk memimpin koordinasi dan kerjasama internasional demi pemulihan ekonomi global.

 “Tindakan ini tidak mencerminkan komitmen kita pada pemulihan ekonomi global,” cetusnya.

Kebijakan dan posisi Indonesia akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kerjasama dan komitmen antar-negara untuk menjaga kelancaran perdagangan yang sangat dibutuhkan untuk memitigasi krisis harga pangan dunia. Indonesia seharusnya bisa membuktikan komitmennya untuk menjaga terus berjalannya kerjasama tersebut.

Kebijakan ini juga disebut Felippa tidak peka terhadap kebutuhan petani karena banyak petani yang menggantungkan hidup mereka kepada harga CPO. Pelarangan ekspor akan menyebabkan kelebihan supply di dalam negeri dan menurunkan harga CPO.

Felippa menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini sekali lagi untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Alih-alih melarang ekspor, pemerintah sebaiknya tetap menjaga komitmennya dalam perdagangan internasional untuk memastikan posisi Indonesia dalam pemulihan ekonomi global.

Selain itu, pemerintah perlu menyelesaikan permasalahan produktivitas kelapa sawit yang terus menurun, terlebih karena moratorium perkebunan sawit masih dijalankan. Petani perlu memaksimalkan lahan yang ada dengan meningkatkan produktivitasnya.

Penggunaan metode pertanian yang ramah lingkungan dan mampu mengadaptasi perubahan iklim diharapkan bisa meningkatkan produktivitas. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan petani kelapa sawit, terutama petani mandiri, dapat mengakses input pertanian berkualitas dengan mudah dan tepat sasaran.

Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR Rafli menyarankan pemerintah perlu mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta stop ekspor, itu bukan solusi menyeluruh. Bagi Rafli, kebijakan larangan ekspor CPO yang diterbitkan Presiden Joko Widodo itu diambil berdasarkan pertimbangan jangka pendek. Dia menilai pemerintah semestinya berkaca dari kebijakan sebelumnya yang pernah ditempuh dalam sektor sumber daya alam. Kebijakan larangan ekspor batubara misalnya. Sayangnya, tujuan kebijakan larangan batubara malah tak sesuai dengan harapan yang ujungnya malah merugikan negara.

Dia menilai kebijakan ekspor sebaiknya perlu diimbangi dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang telah diatur. Menurutnya, kebijakan tersebut pernah dipraktikkan negeri Jiran Malaysia dengan harga minyak goreng Rp8.500/kg.

Tapi dibandingkan Indonesia sebagai negara nomor wahid penghasil minyak goreng di dunia, justru harga yang dipatok jauh lebih mahal. Itu sebabnya, Rafli mengimbau agar tiap pemangku kepentingan yang terdampak dengan kebijakan minyak goreng perlu duduk bersama mengevaluasi aturan yang ada. Bahkan bila perlu melakukan studi banding dengan negara lain.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengingatkan komoditas ekspor minyak goreng berkontribusi besar penyumbang devisa negara. Karenanya perlu dijaga stabilitas harga di tiap daerah penghasil kelapa sawit dengan mengharuskan adanya pabrik pengolahan bahan baku minyak goreng. Malahan terdapat tiga perusahaan besar BUMN penghasil minyak goreng. “Semestinya pemerintah mampu membuat harga lebih murah,” katanya, Senin (25/4).

Anggota Komisi VI DPR Rudi Hartono Bangun mengatakan kebijakan larangan ekspor CPO berdampak negatif terhadap petani kelapa sawit. Menurutnya, harga tanda buah segar (TBS) milik petani kelapa sawit anjlok di angka Rp1.000 akibat kebijakan larangan ekspor CPO. Dia beralasan pabrik CPO enggan menerima TBS dari petani terlampau banyak. 

Sebab kapasitas tanki penyimpanan pabrik terbatas. Lagipula, pabrik pun memiliki simpanan TBS dari kebun. Sementara petani sawit tak memiliki tanki penyimpanan. Akibatnya, posisi petani kelapa sawit simalakama. Padahal, mayoritas petani menggantungkan hidupnya dari kebun sawit. “Dijual harganya turun, tidak dijual barang jadi busuk,” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah telah memutuskan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng untuk memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Presiden pun bakal memastikan pemerintah terus mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Serta menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau di tanah air.

“Hari ini saya telah memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Dalam rapat tersebut, telah saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, mulai Kamis, 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian,” ujar Presiden dalam keterangan pers, Jumat (22/4/2022) secara virtual.

Tags:

Berita Terkait