Soal Penanganan Aksi, Kapolri Diminta Reformasi Institusinya
Berita

Soal Penanganan Aksi, Kapolri Diminta Reformasi Institusinya

Tindakan represif dari aparat kepolisian terhadap aksi mahasiswa dan elemen masyarakat telah menciderai semangat reformasi dan harkat martabat institusi Polri.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat di depan Gedung DPR, Selasa (29/9) lalu. Foto: RES
Aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat di depan Gedung DPR, Selasa (29/9) lalu. Foto: RES

Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyayangkan tindakan represif aparat kepolisian dalam merespon gelombang protes yang dilakukan oleh elemen masyarakat terutama mahasiswa dalam hal penolakannya terhadap pengesahan Revisi UU KPK. Kepolisian seharusnya bisa menahan diri untuk tidak bertindak represif dan menghindari jatuhnya korban.

 

“Aksi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya yang awalnya kondusif ternyata berbanding terbalik dengan respons dari aparat kepolisian,” kata Mustafa Fakhri, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam pernyataan tertulis yang diterima hukumonline, Minggu (29/9).

 

Mustafa menyatakan sejak menjelang era kemerdekaan, gerakan mahasiswa telah dianggap sebagai gerakan moral yang menjadi indikator telah terjadinya kegagalan elit dalam menyerap aspirasi masyarakat. Gelombang pergerakan warga, terutama mahasiswa yang melakukan protes besar merupakan sebuah tanda bahwa telah terjadi kesalahan dalam penyelenggaraan negara dewasa ini.

 

Menurutnya, tindakan represif dari aparat kepolisian telah menciderai dua hal. Pertama, semangat reformasi dengan agenda penguatan masyarakat sipil dalam partisipasi membangun pemerintahan yang tidak otoriter. Penguatan juga diiringi dengan reformasi kelembagaan di segala lini, terutama yang erat kaitannya dengan relasi sipil-militer.

 

Kedua, tindakan represif aparat tersebut menciderai harkat dan martabat dari institusi Polri itu sendiri. Dalam UU No.2 Tahun 2002 disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

 

“Dengan adanya tindakan represif aparat kepolisian tersebut tentu akan menjadi tanda tanya besar di masyarakat apakah kepolisian sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan bijak,” tulis Mustafa.

 

Dengan berbagai permasalahan tersebut, PSHTN FHUI menyatakan lima sikap. Pertama, mendukung penuh setiap penyampaian aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dalam bentuk apapun dengan tetap memperhatikan koridor hukum.

 

Kedua, mengecam segala bentuk tindakan represif dengan menggunakan kekerasan yang di luar batas kewajaran, yang dilakukan oleh oknum anggota Polri baik terhadap para demonstran, maupun terhadap para jurnalis dan petugas medis yang sedang menjalankan amanah sesuai profesinya masing-masing.

 

(Baca: Bertindak Berlebihan, Kapolri Diminta Bebaskan Mahasiswa dan Aktivis)

 

Ketiga, mendesak Kapolri sebagai pimpinan tertinggi di bawah Presiden yang bertanggung jawab pada sektor keamanan bangsa, untuk membawa ke proses peradilan semua oknum Polri yang menggunakan kekerasan terhadap aksi warga negara yang telah dijamin dalam konsitusi republik ini.

 

“Keadilan harus ditegakkan terutama kepada mereka yang telah menghilangkan nyawa warga negara dan melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa, pelajar serta tim medis dan jurnalis,” tulis Mustafa.

 

Keempat, meminta Kapolri untuk menggunakan golden momentum ini untuk mereformasi institusinya dengan tata kelola yang jauh lebih profesional, transparan, dan akuntabel. Menurutnya, dukungan Anggaran yang meningkat tajam selama satu periode terakhir, sesungguhnya telah memberi kesempatan yang luar biasa kepada Kapolri untuk melakukan banyak hal demi terwujudnya kepolisian yang profesional, anti suap dan imparsial.

 

Kelima, mendorong seluruh elemen bangsa untuk terlibat aktif dalam upaya menjaga keutuhan wilayah NKRI, serta bersama-sama menahan diri untuk tidak terprovokasi terlibat dalam aksi anarkis, apalagi terlibat dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang sah.

 

Sementara itu, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi, berpendapat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapat sorotan karena melakukan berbagai tindakan kontra demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam satu pekan terakhir. Korban jiwa berjatuhan dan disinyalir berasal dari tindakan represif aparat dalam menangani aksi demonstrasi di sejumlah daerah. 

 

Perilaku Polisi sebagaimana ditampilkan di berbagai pemberitaan berpotensi melanggar peraturan internal Polri, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, karena tidak memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas dalam melakukan tindakan. 

 

(Baca Juga: Peraturan Kapolri Tentang Demonstrasi Dinilai Bertentangan dengan UU)

 

Selain itu, terkait penanganan aksi demontrasi, Polri juga harus menjawab pertanyaan publik mengenai dugaan adanya ketertutupan terhadap informasi mengenai penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap peserta aksi.

 

“Apakah benar ada sejumlah peserta aksi yang tidak diketahui keberadaannya saat ini karena ditahan oleh pihak Kepolisian? Apakah benar peserta aksi yang ditahan oleh pihak Kepolisian belum mendapatkan pendampingan hukum?” kata Fajri seperti dalam rilisnya, Minggu (29/9).

 

Menurut Fajri, pertanyaan-pertanyaan itu harus mampu dijawab oleh Polri mengingat aksi demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat adalah perwujudan dari hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. 

 

Selain itu, sambung Fajri, potensi pengekangan demokrasi dilakukan aparat Polri terhadap pembuat film dokumenter Dandhy Dwi Laksono dan seniman Ananda Badudu. Sebelumnya, Polri melalui akun media sosialnya juga menyebarluaskan berita bahwa ambulans milik Palang Merah Indonesia (PMI) mengangkut batu dan bensin; sebuah disinformasi yang dengan tegas disanggah oleh pihak PMI.

 

“Walaupun kemudian berita tersebut dihapus dari akun media sosial Polri, tetapi dalam kesempatan berikutnya Polri bersikeras menyatakan bahwa berita tersebut merupakan fakta,” ujarnya.

 

Fajri menambahkan ketidakwajaran berbagai tindakan dan kebijakan Polri bukan hanya membingungkan publik, tetapi juga amat mengecewakan. Slogan Polri yaitu "melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat", tidak tercermin melalui fakta di lapangan yang seolah menempatkan publik dalam posisi musuh yang harus dibasmi. Aksi tindakan aparat Polri juga menjadi contoh buruk bagaimana demokrasi di Indonesia berjalan. Alih-alih mendamaikan, Polri justru menjadi aktor utama penyebar rasa tidak aman bagi publik.

 

“Seluruh rangkaian kejadian tersebut harus diselesaikan. Masyarakat harus diberikan rasa aman dalam menyuarakan pendapatnya. Oleh karena itu, Polri harus mempertanggungjawabkan seluruh tindakan dan kebijakannya tersebut,” katanya.

 

Hak Interpelasi

Di sisi lain, kata Fajri, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif dan wakil rakyat perlu menjalankan mandatnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Salah satu cara yang dapat dilakukan DPR adalah menggunakan hak interpelasi yang sudah diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.

 

“Melalui penggunaan hak itu, DPR dapat meminta keterangan kepada Pemerintah, khususnya dalam hal ini Polri, mengenai rentetan kejadian pelanggaran HAM tersebut,” katanya. 

 

Menurut Fajri, pelaksanaan hak interpelasi tidak menutup kemungkinan akan berlanjut pada penggunaan hak angket apabila ditemukan potensi pelanggaran terhadap undang-undang tertentu oleh Pemerintah. Seluruh proses harus berjalan secara transparan dan akuntabel agar publik semakin diyakinkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan DPR adalah sebenar-benarnya perwakilan rakyat Indonesia.

 

Untuk menggunakan hak interpelasi; menurut Pasal 194 dan 195 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), diperlukan usul dari minimal 25 orang anggota DPR yang berasal dari lebih dari 1 fraksi, untuk disampaikan kepada Pimpinan DPR. Usulan itu menjadi hak interpelasi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.

 

Fajri juga mengingatkan 30 September 2019 adalah hari terakhir anggota DPR periode 2014-2019 menjabat. Komposisi fraksi DPR hasil pemilu legislatif kemarin mempertahankan 9 dari 10 fraksi di DPR sehingga tidak terjadi perubahan yang berarti.  Oleh karena itu, berakhirnya masa jabatan tidak bisa jadi alasan DPR untuk menghindari tanggung jawabnya menjalankan fungsi pengawasan pada kerja Pemerintah. 

 

“Hari terakhir ini dapat digunakan oleh 9 Fraksi yang lolos ke DPR periode 2019-2024 untuk menyatakan sikap dan berkomitmen menggunakan hak interpelasi segera setelah anggota DPR periode 2019-2024 dilantik. Komitmen ini yang patut dituntut dan ditunggu oleh publik, dan DPR sepatutnya tidak lagi mengecewakan dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat,” tuturnya.

 

Sementara itu, lanjut Fajri, Presiden Joko Widodo harus menginstruksikan Polri sebagai bawahannya untuk menghentikan seluruh tindakan kontra demokrasi dan melanggar HAM tersebut.

 

“Presiden juga harus menjamin bahwa seluruh tindakan tersebut tidak akan terulang dan, terlebih penting lagi, Presiden harus mampu menunjukkan kompetensi dan kapasitasnya untuk mengendalikan aparatnya sendiri,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait