Soeprapto, The Silent Hero Sang 'Bapak' Kejaksaan
Resensi

Soeprapto, The Silent Hero Sang 'Bapak' Kejaksaan

Tidak hanya kisah positif, buku ini juga mengulas keputusan kontroversial Soeprapto saat menjabat sebagai Jaksa Agung.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Seperti Wongsonegora (Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo) dan Isqak Tjokrohadisurjo (Menteri Hubungan Ekonomi 1953-1954). Setelah lulus dari Rechtsschool 1917, Soeprapto langsung bekerja untuk membantu orang tuanya dan tidak berkesempatan meraih gelar Meester in de rechten (Mr).

Pada awalnya, Soeprapto bekerja di pengadilan negeri wilayah Trenggalek sebagai staf Kepala Pengadilan Neger, voorzitter van de landraad pada 1917. Dia juga pernah menjabat sebagai Hakim Anggota Pengadilan Negeri di Purworejo pada 1923, Wakil Ketua Pengadilan Negeri di Bandung pada 1925, Ketua Pengadilan Negeri Pati pada 1927.

Soeprapto berpindah-pindah wilayah kerja seperti Banyuwangi, Cirebon, Salatiga-Boyolali, Karesidenan Pekalongan. Saat di Pekalongan, Soeprapto menghadapi salah satu tugas terberat mengadili kasus Peristiwa Tiga Daerah (PTD), revolusi sosial di Brebes, Tegal dan Pemalang saat Indonesia lepas dari kependudukan Jepang. Dalam kasus ini, Ia memvonis mati aktor utama revolusi bernama Kutil.

Sebagai hakim bumiputra, Soeprapto mendapat apresiasi dari sesama hakim-hakim dan pegawai pengadilan Belanda. Kiprah Soeprapto mendapat perhatian pemerintah pusat di bawah Perdana Menteri Mohammad Natsir yang mengangkatnya sebagai Jaksa Agung. Terdapat tiga alasan penunjukan Soeprapto antara lain mampu mengadili tokoh-tokoh kunci PTD yang dianggap berhaluan kiri, kedekatannya dengan Tentara serta pilihan Presiden Soekarno yang menginginkan Jaksa Agung berkarakter berani dan ’keras kepala’.

Keputusan kontroversial

Setelah dilantik, Soeprapto menyampaikan bahwa salah satu perhatiannya yaitu menyelesaikan kasus pemberontak Westerling yang menjadi aktor utama pembantaian terhadap ribuan warga pribumi di Makassar, Sulawesi Selatan. Selain itu, sedikitnya terdapat 30 kasus besar yang mendapat perhatian publik selama Soeprapto menjabat.

Terdapat juga beberapa keputusan kontroversi yang dilakukan Soeprapto melalui penerbitan surat edaran. Keputusan kontroversi tersebut antara lain larangan membicarakan politik di masjid dan gereja hingga peringatan kepada wartawan atas pemberitaan politik. Berbicara tentang Soeprapto tidak dapat lepas dari kasus Sultan Hamid Algadri II. Kasus ini paling menyita perhatian publik  dan Soeprapto tampil langusng sebagai jaksa penuntut umum.

Dalam buku ini, pemaparan pengadilan Sultan Hamid dan latar belakang kasusnya bahkan mencapai hampir 100 lembar. Di sini, tuntutan Soeprapto untuk vonis 10 tahun penjara terhadap Sultan Hamid yang membantu Westerling dikabulkan ketua hakim yang dipimpin langsung Ketua Mahkamah Agung, Mr Wirjono Prodjodikoro pada tingkat pertama dan terakhir.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait