Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya
Kolom

Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya

Merespon situasinya tidak bisa menyederhanakan sekadar mengusir balik ke Myanmar. Masih ada solusi alternatif.

Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Tahun ini gelombang pengungsi Rohingya kembali berlabuh ke bumi Aceh dengan menggunakan perahu. Salah satu media massa nasional mengabarkan awal Desember ini bahwa tercatat ada 1300 pengungsi Rohingya di Aceh. Sebanyak 139 jiwa mendarat di Pulau Sabang pada 2 Desember 2023. Pemberitaan lainnya pada akhir November lalu mencatat ada 1084 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh hanya dalam dua pekan saja di bulan November 2023. Mereka datang bergelombang dengan enam perahu yang berbeda. Ada yang mendarat di Pidie, Bireun, Aceh Timur, bahkan Pulau Sabang.

Fenomena ini bukan kali pertama terjadi tapi nyaris setiap tahun dengan pola yang hampir sama. Mereka berangkat dari lokasi pengungsian di sekitar Bangladesh, lazimnya dari sekitar Cox Bazaar. Para pengungsi berlayar berhari-hari di Laut Andaman sampai sekitar Selat Malaka, lalu akhirnya berlabuh di pantai-pantai sekitar Provinsi Aceh.

Baca juga:

Pendaratan tahunan manusia perahu Rohingya ini menimbulkan dilema bagi Pemerintah Daerah dan rakyat Aceh, serta bagi Pemerintah Pusat. Menerima mereka begitu saja akan menimbulkan masalah hukum, politik, sosial dan budaya. Mereka memasuki wilayah teritorial Indonesia dengan cara tidak sah dan tanpa dukungan dokumen perjalanan yang sahih. Tentu hal ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia. 

Namun, menolak mereka mendarat dan menghalaunya agar meneruskan perjalanan ke tempat lain juga bukan pilihan yang bijak. Mereka bukan sembarang migran yang berpindah semata-mata untuk mengadu nasib atau mencari kerja. Mereka adalah pengungsi (refugees) ataupun pencari suaka (asylum seekers) yang menjadi korban persekusi di negaranya. Tidak semudah itu mengusir mereka yang telah terusir dari negaranya untuk kembali ke sana. Keselamatan mereka terancam di sana. Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951. Namun ,Indonesia terikat dengan prinsip non-refoulement. Prinsip ini berarti tidak mengembalikan para pengungsi ketika mereka telah masuk ke wilayah teritorial suatu negara ketika keselamatan mereka terancam di negaranya.

Rodenhauser (2018) mengategorikan prinsip non-refoulement sebagai hukum kebiasaan internasional (customary international law). Alvi Syahrin (2017) menyebutkan bahwa prinsip non-refoulement juga mengikat mereka yang bukan pihak pada Konvensi 1951 karena asas jus cogens dan peremptory norm (norma yang harus ditaati). Sebagai sebuah keharusan norma, jus cogens dan asas non-refoulement telah menjadi kebiasaan hukum internasional. Oleh karena itu, kekuatan hukum ini juga mengikat negara-negara yang bukan merupakan pihak pada Konvensi Pengungsi tahun 1951.

Di sisi lain, pemerintah dan rakyat Aceh telah amat toleran dan amat berperikemanusiaan dalam menerima para pengungsi Rohingya selama ini. Rakyat Aceh membantu dan menolong pada awal pendaratan manusia perahu Rohingya karena alasan kemanusiaan.

Tags:

Berita Terkait