Status Hak Adat Masyarakat Harus Diputuskan
Berita

Status Hak Adat Masyarakat Harus Diputuskan

Merasa tanahnya dirampas, warga Riau mengadu ke Komnas HAM

ADY
Bacaan 2 Menit
Status Hak Adat Masyarakat Harus Diputuskan
Hukumonline
Sengketa lahan antara warga yang mengatasnamakan masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan masih terus terjadi di daerah. Agar kasus semacam tak terus berulang, Otto Syamsudin Ishak, komisioner Komnas HAM, menyarankan agar Pemda setempat menetapkan status masyarakat adat. Pemda harus berinisiatif memetakan dan kemudian menetapkan masyarakat adat.

Saran itu disampaikan Otto saat menerima warga desa Segati Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, Rabu (19/2) kemarin. Warga mengadu karena lahan tempat mereka memenuhi kebutuhan hidup diambil alih perusahaan perkebunan.

Menurut Otto, Pemda seharusnya menuntaskan persoalan status hukum masyarakat adat di daerahnya sesuai peraturan perundang-undangan. Sebab, sesuai konstitusi, hak masyarakat adat diakui. Selain itu, perusahaan perkebunan yang sudah mengantongi izin usaha selayaknya juga melakukan pendekatan adat, dan tidak mengandalkan pendekatan keamanan. “Sehingga ada penghormatan perusahaan kepada warga sebelum menjalankan bisnisnya,” kata Otto.

Warga Segati memang mengeluhkan keberpihakan aparat kepolisian terhadap perusahaan. Mengenai keluhan ini, Otto mengatakan Komnas HAM harus mengkonfirmasi lebih dahulu ke Polri. “Kami akan berkoordinasi dengan Kapolri,” tuturnya.

Johny Nelson Simanjuntak, pendamping warga, menyebutkan akibat penyerobotan tanah warga, ratusan kepala keluarga di Segati resah. Apalagi lahan yang diambil selama ini menjadi sumber pencaharian hidup warga sekitar.

Kuasa hukum warga, Martin Purba, menjelaskan dua pekan lalu perusahaan perkebunan itu masuk ke desa Segati membawa 600 pekerja dan satu kompi pasukan Brimob dari Polda Riau. Melihat kedatangan pihak perusahaan bersama pasukan Brimob berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang membuat warga kaget. Apalagi, selama ini tidak ada larangan bagi warga untuk menggarap lahan seluas ribuan hektar itu. “Tapi sekarang tanaman kelapa sawit warga di buldoser dan diracun,” katanya.

Selain Nelson dan Martin, warga yang menjadi korban pun ikut bicara di Komnas HAM. Nurhalimah, seorang guru SD di Segati, menambahkan gedung sekolah nyaris dirobohkan perusahaan. Usaha itu ditentang guru dan murid sehingga perusakan gedung sekolah urung dilakukan. “Kami cegah bersama anak-anak murid. Akhirnya nggak jadi dibuldoser,” jelasnya.

Warga sangat menyesalkan backing yang dilakukan aparat kepolisian. Menurut kesaksian warga, polisi datang bersenjata lengkap mengawal buldoser dan pekerja yang disewa oleh perusahaan. Martin Purba mengatakan penyelesaian kasus pertanahan dengan mengandalkan aparat bersenjata lengkap bukanlah pendekatan yang manusiawi.

“Ini sengketa lahan, harusnya perusahaan melakukan gugatan kepada warga yang menguasai tanah itu. Jadi nanti bisa diketahui siapa pemilik sah lahan itu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait