Tafsir Kritis Fenomena Koalisi Guru Besar
Kolom

Tafsir Kritis Fenomena Koalisi Guru Besar

Suara moral koalisi-koalisi itu tetap harus dikawal, termasuk juga perlu dikritisi.

Bacaan 6 Menit

Cilaka kalau misalnya itu benar. Niscaya sulit berharap seruan moral yang dilontarkan ke tengah ruang publik itu memiliki kekuatan emansipatoris, dalam artian mampu menggerakkan pelaku-pelaku kekuasaan kembali ke atas rel moral. Khawatirnya lagi, fenomena itu hanya menjadi  eksyen dalam drama pergunjingan yang memanfaatkan situasi masyarakat pencitraan yang oleh Guy Debord (1967) disebut the society of spectacle. Walaupun tontonan yang disajikan semu belaka, tak apa, tetap pamerkan saja! Jadilah riuh suara dari kerumunan  itu membuktikan intelektual sebagai part of fenomena klobotisme (2012). Maksudnya, terasa gaduh dan berisik, tetapi ‘ampang’ tidak berisi. Seperti kertas rokok klobot, kalau diremas bersuara ‘kemresek.

Menguatkan Jalan Ketiga

Kedua jalan di atas: pemujaan atau kebencian terhadap kekuasaan, ibarat tiket satu arah, masuk atau keluar. Terlalu naif dan dikotomis. Nah, untuk itu, Prof. Connie (2019) menawarkan jalan ketiga, yaitu jalan yang bersifat timbal balik. Maksudnya, ada jalan dimana intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif pemujaan atau kebencian terhadap kekuasaan.

Merintis jalan ketiga itu memang tidak gampang. Tetiba ingat isi dan pesan orasi ilmiah yang sering disampaikan Prof. Moh. Mahfud MD di kampus-kampus, terutama saat momentum wisuda. Prof. Mahfud sering mengucapkan, intelektual itu predikat yang disematkan bagi ‘sarjana’ yang terpanggil jiwanya untuk turut memperbaiki kondisi bangsa dengan ilmunya. Dengan kata lain, yang tak mau berperan apa-apa tak layak disebut intelektual, melainkan orang yang secara kebetulan saja menyandang gelar akademik. Begitu juga guru besar, kalau tidak pernah merasa terpanggil jiwanya, jabatan akademik tertinggi itu bisa-bisa hanya menunjukkan administrasi kasta kepangkatan dan aspek  tunjangan belaka.

Mengutip Heru Nugroho (2012), universitas harus mampu menjadi tuk (sumber air), menjadi semacam kedhung (kolam besar) ilmu pengetahuan. Karena itu dikatakan pula, setiap akademisinya harus memiliki sikap ilmiah, yaitu mampu menjaga jarak dengan kekuasaan, memiliki otonomi diri sebagai intelektual, dan harus tahan dengan godaan untuk berkuasa dan motif ‘menglaba’ (2012: 17).

Menafsiri frasa “menjaga jarak dengan kekuasaan” jangan kaku sebagai harga mati untuk selalu berada di luar dan menampik peluang masuk ke lingkaran kekuasaan. Mau berada di luar atau di dalam kekuasaan itu silakan, masing-masing punya sikap, hak, dan otonomi. Yang terpenting, ketika berkesempatan berada di dalam kekuasaan, seorang intelektual harus tertantang untuk mampu memberi solusi bermodal ilmunya. Bukan malah menimbulkan atau menjadi bagian dari masalah.

Selain itu, ia harus sejak dini ‘pasang kuda-kuda’ terkuat untuk menghalau setiap godaan dan lolos dari semua fase jebakan. Sebaliknya, manakala berada di luar lingkar kekuasaan, tak perlu mematri dan melembagakan kebencian terhadap kekuasaan. Sudahi cara-cara memberi stigma gelap pada kekuasaan, apalagi kalau ternyata aslinya setengah mati menginginkannya.

Akhirnya, agar punya kekuatan emansipatoris, suara moral koalisi-koalisi itu tetap harus dikawal, termasuk juga perlu dikritisi. Alangkah baik jika fenomena suara para resi dalam koalisi-koalisi itu dimaknai, diarahkan, dan dijadikan material untuk memastikan terbangunnya konstruksi jalan ketiga dalam wacana relasi intelektual-kekuasaan sebagaimana dibayangkan Cornelis Lay. Dengan begitu, wacana relasi itu  tak disandera oleh pemujaan atau kebencian terhadap kekuasaan. Tabik, Prof. Connie!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Murid Sejumlah Guru Besar, Pengajar HTN Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait