Tak Cukup Perpres, Beneficial Ownership Perlu Diatur Undang-undang
Berita

Tak Cukup Perpres, Beneficial Ownership Perlu Diatur Undang-undang

Beneficial Ownership harus dilihat sebagai sesuatu yang harus dikejar, bukan sesuatu yang ditunggu untuk dilaporkan.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Ketentuan terkait Beneficial Ownership (penerima manfaat) dirasa tidak cukup bila hanya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres). Untuk lebih komprehensif, BO perlu dibuatkan Undang-undangnya. Hal ini menjadi salah satu usulan yang muncul dari sebagian kalangan mengingat pentingnya untuk mengetahui siapa sebenarnya pemilik dari setiap perusahaan yang terdaftar di dalam negeri.

Saat ini, regulasi paling tinggi terkait BO adalah Perpres No.13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Partner di Ernst & Young, Deni R Tama, mengatakan hingga saat ini belum jelas sanksi yang akan diterima korporasi jika tidak menyampaikan BO-nya atau menyampaikan BO secara tidak valid. Menurut Deni, mengingat pentingnya informasi terkait BO, seharusnya ada sanksi pidana bagi korporasi yang melanggar kewajiban melaporkan BO. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi bertaraf undang-undang.

“Mestinya memang BO ini diatur dengan UU. Karena hanya UU yang memberikan kewenangan pada negara untuk mengatur sanksi pidana,” ujar Deni dalam diskusi yang disiarkan secara daring, Kamis (4/6).

Menurut Deni, tanpa sanksi yang tegas penerapan kewajiban mengenali penerima manfaat tidak akan efektif karena tidak terdapat mekanisme disinsentif bagi korporasi yang tidak patuh terhadap kewajiban ini. 

Selanjutnya, Deni mengungkapkan praktik penerapan mengenali pemilik manfaat yang tidak sesederhana dengan apa yang telah diatur dalam regulasi yang telah ada. Menurut Deni, ada pendekatan yang kurang tepat ketika memperlakukan BO sebagai kewajiban korporasi. (Baca: Mengenal Lebih Jauh Penerapan Beneficial Ownership Korporasi)

Deni mencontohkan penggunaan nominee dalam pendaftaran badan usaha adalah bentuk dari upaya untuk bersembunyi di balik perusahaan. Jika kemudian perusahaan tersebut diwajibkan untuk menyampaikan siapa penerima manfaat dari perusahaan tersebut, sulit dibayangkan perusahaan akan melaporkan BO-nya.

“BO harus kita lihat sebagai sesuatu yang harus kita kejar, bukan sesuatu yang kita tunggu untuk dilaporkan,” tegas Deni. 

Problem saat ini menurut Deni, tanggung jawab untuk mengenali penerima manfaat dari suatu korporasi berada di pundak penyedia jasa keuangan. Dalam praktiknya, perbankan saat melayani pembukaan rekening menerapkan prinsip know your costumer

“Anda akan ditanya apakah anda adalah BO atau hanya orang yang sekadar bertindak untuk dan atas nama BO,” terang Deni. 

Deni menilai infrastruktur yang saat ini dimiliki Indonesia dalam mendata BO belum terlalu baik. Menurut Deni, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM hingga saat ini masih melakukan pengembangan. Ke depan ia menilai perlu terdapat fitur verifikasi dalam sistem pendaftaran badan hukum di Dirjen AHU. 

Tujuannya adalah untuk mengetahui data yang dimasukan akurat. Selain itu, menurut Deni, data yang dimiliki pemerintah saat ini tersebar di instansi-instansi, sehingga data tersebut bisa diintegrasikan kemudian dipergunakan untuk validasi dan verifikasi data BO.

Soal ini, Deni mengungkap kendala yang dihadapi oleh industri penyedia jasa keuangan selama bertahun-tahun. Industri berharap pemerintah membagi daftar politicaly exposed person (PEP) atau daftar para penyelenggara negara. 

Menurut Deni, kategori kelompok ini adalah salah satu tipe nasabah yang berisiko tinggi dan industri wajib melakukan pemantauan. “Masalah kita adalah daftar itu tidak pernah di-share untuk industri,” ungkap Deni.  

Direktur Eksekutif Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah, menjelaskan dari perspektif publik penyelengaraan korporasi yang berintegritas memiliki keterkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

“Saya ingin menekankan fraud dari sisi ekonomi baik dalam modus korupsi, money laundering, terrorism financing, itu bisa dicegah dengan keterbukaan BO,” ujar Maryati dalam diskusi yang sama. 

Menurut Maryati, dalam konteks mencegah risiko kegagalan dari korporasi mengelola proyek-proyek negara yang berkaitan dengan kepentingan publik, tertutupnya kepemilikan sebuah perusahaan akan mempengaruhi pelayanan publik kepada masyarakat.

“Terutama proyek-proyek negara yang berkaitan dengan kepentingan publik seperti infrastruktur,” ujarnya.

Sementara dari sisi industri ekstraktif dan natural resources misalnya, keterbukaan BO justru meningkatkan akuntabilitas sosial dan lingkungan. Misalnya, hal ini membantu penegakan hukum dalam hal environmental liability. Di sana ada prinsip mengenakan sanksi pidana maupun perdata karena bisa diketahui siapa yang sebenarnya pelaku utama dari kerusakan lingkungan. 

“Kita juga bisa mengukur apakah BO sebuah korporasi memiliki relasi dengan bisnis dan juga politik yang sebagai pejabat publik dituntut untuk terbuka dan men-declair apakah ada kebijakan publik yang conflict of interest dengan kepentingan perusahaannya,” ungkap Maryati.

 

Tags:

Berita Terkait