​​​​​​​Tambal Sulam Defisit BPJS Kesehatan Selama 2018
Lipsus Akhir Tahun 2018:

​​​​​​​Tambal Sulam Defisit BPJS Kesehatan Selama 2018

​​​​​​​Selain mengucurkan dana cadangan Rp10,1 triliun pemerintah menerbitkan kebijakan yang mengalokasikan sebagian pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Ia mengatakan klaim rasio JKN untuk saat ini sekitar 120 persen, klaim rasio itu harusnya 90 persen. Untuk menyehatkan keuangan DJS, Asih menilai yang penting dilakukan yakni merasionalkan besaran iuran dengan manfaat yang diterima peserta. Kemudian, pemerintah harus memperkuat dana cadangan untuk membantu DJS program JKN.

 

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengkritik sejumlah ketentuan dalam Perpres JKN yang mestinya bisa mengatasi persoalan defisit JKN. Misalnya, BPJS Kesehatan harus mengoptimalkan penarikan iuran pada badan usaha. Sebagaimana putusan MK bernomor 70/PUU-IX/2011, Timboel mengingatkan BPJS Kesehatan untuk bisa menerima pekerja yang mendaftar sendiri karena perusahaan tidak mau mendaftarkan pekerja yang bersangkutan dan keluarganya dalam program JKN. “Tugas BPJS Kesehatan menagih iuran dari perusahaan yang tidak patuh itu,” urainya.

 

Ketika pekerja dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK), Timboel mengusulkan BPJS Kesehatan membolehkan pekerja itu membayar sendiri iurannya sebesar 1 persen. BPJS Kesehatan bertugas menagih iuran sisanya sebesar 4 persen kepada pemberi kerja. Upaya itu perlu dilakukan karena faktanya banyak perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban membayar iuran JKN untuk pekerjanya yang menjalani proses PHK.

 

Mengenai batas atas upah yang digunakan untuk perhitungan iuran pekerja penerima upah (PPU) badan usaha swasta, Timboel mengusulkan besarannya Rp12 juta sehingga iuran maksimal yang bisa dibayar oleh PPU sebesar Rp600 ribu. Sayangnya, Perpres No.82 Tahun 2018 menetapkan batas atas upah itu sebesar Rp8 juta.

 

BPJS Kesehatan perlu melakukan upaya yang lebih efektif untuk menarik iuran peserta PBPU atau mandiri. Timboel mencatat selama ini direksi BPJS Kesehatan belum melakukan upaya itu dengan baik, buktinya tunggakan iuran PBPU masih tinggi, Rp1,8 triliun per 31 Mei 2018. Perpres No.82 Tahun 2018 memberi ruang bagi BPJS Kesehatan untuk mendapat pemasukan yang lebih baik karena pembayaran tunggakan saat ini maksimal 24 bulan, sebelumnya hanya 12 bulan.

 

Selain itu Timboel menegaskan BPJS Kesehatan harus memastikan upah yang dibayar badan usaha sesuai dengan ketentuan yakni berdasarkan upah pekerjanya yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Penegakan kepatuhan harus dilakukan bukan saja oleh BPJS Kesehatan tapi juga perlu respon serius dari Kejaksaan, dan pengawas ketenagakerjaan. Peraturan Pemerintah No.86 Tahun 2013 telah mengatur pengenaan sanksi bagi badan usaha yang melanggar aturan jaminan sosial. Sanksi yang dapat dikenakan mulai dari administratif, denda, sampai tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.

 

Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, melihat Perpres JKN tidak hanya memuat aturan yang menyoroti soal defisit tapi seluruh aspek seperti melengkapi manfaat yang diterima peserta. Mengenai dukungan pemda untuk mengalokasikan pajak rokok, menurut Fachmi ketentuan ini hanya berlaku untuk pemda yang belum menggunakan dana pajak rokoknya untuk program JKN.

 

Misalnya, suatu daerah sudah mengintegrasikan Jamkesda ke program JKN, iuran yang dibayar pemda untuk peserta PBI yang mereka daftarkan itu tidak menggunakan pajak rokok tapi dari anggaran lainnya. Untuk kasus ini pemda yang bersangkutan bisa dikenakan ketentuan pasal 99 ayat (2) huruf d Perpres No.82 Tahun 2018. Tapi, ketentuan ini tidak berlaku bagi pemda yang telah menggunakan pajak rokok untuk membayar iuran PBI. Fachmi mengingatkan agar pemangku kepentingan memperhatikan besaran iuran JKN agar dilakukan penghitungan ulang.

 

“Selama besaran iuran belum disesuaikan program JKN akan terus mengalami defisit,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait