"Tambal Sulam" Suap Bupati Lampung Tengah
Berita

"Tambal Sulam" Suap Bupati Lampung Tengah

Sejumlah anggota DPRD Lampung Tengah dihadirkan sebagai saksi.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Tersangka Bupati Lampung Tengah nonaktif, Mustafa usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Rabu (21/2). Fot: RES
Tersangka Bupati Lampung Tengah nonaktif, Mustafa usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Rabu (21/2). Fot: RES

Modus "tambal sulam" dalam praktik suap-menyuap sepertinya sudah menjadi hal lumrah. Apalagi jika suap menyuap tersebut dilakukan pejabat eksekutif demi mendapatkan persetujuan dari anggota dewan. Tanpa mengeluarkan kocek pribadi, sang pejabat juga meminta dan mengumpulkan uang dari calon rekanan untuk menyuap anggota dewan.

 

Seperti perkara suap Bupati Lampung Tengah nonaktif Mustafa yang kini telah memasuki tahap persidangan. Setelah pembacaan surat dakwaan pada Senin (14/5), Mustafa tidak mengajukan eksepsi atau nota keberatan. Majelis hakim pun memerintahkan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan pemeriksaan perkara dengan menghadirkan saksi-saksi.

 

Pengacara Mustafa, Tito Hananta Kusuma mengatakan, ada empat orang saksi yang dihadirkan penuntut umum pada persidangan Senin (21/5). Pemeriksaan saksi masih berlangsung. Keempat saksi itu adalah, Ketua Fraksi PDIP di DPRD Kabupaten Lampung Tengah Raden Zugiri, Ketua Fraksi Gerindra Zainuddin, Wakil Ketua II DPRD Riagus Ria, dan Wakil Ketua III DPRD Joni Hardito.

 

Dalam persidangan pekan lalu, pegawai Dinas Cipta Karya Kabupaten Lampung Tengah Aan Riyanto menjadi salah seorang saksi yang dihadirkan penuntut umum dalam sidang Mustafa. Saat memberikan keterangannya di muka pengadilan, Aan mengaku diminta Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah Taufik Rahman mengambil uang Rp900 juta ke rekanan untuk diberikan ke anggota DPRD Lampung Tengah.

 

"Saya diperintahkan untuk ambil uang Rp900 juta ke Rano dan Haji Nain. Pak Taufik memerintahkan Supranowo untuk memenuhi permintaan tersebut," katanya saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi dengan terdakwa Mustafa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (17/5).

 

Apabila mengacu surat dakwaan, Aan dan Supranowo disebut menghubungi MIftahullah Maharano Agung alias Rano, salah satu rekanan Dinas Cipta Karya untuk memberikan kontribusi atau "comittment fee" tahun 2018 sebesar Rp900 juta. Uang yang juga merupakan uang suap itu digunakan lagi untuk menyuap anggota DPRD.

 

Selanjutnya, Rano memberikan cek senilai Rp900 juta kepada Kurnain untuk dicairkan, lalu diserahkan kepada Supranowo pada 13 Februari 2018 di Bandar Lampung. Kemudian, Rano memerintahkan Supranowo menggenapkan uang itu menjadi Rp1 miliar dan dimasukkan ke dalam kardus.

 

"Lalu saya telepon Pak Taufik, ada uang Rp1 miliar, saya serahkan ke siapa? Lalu dikatakan  diberikan ke Rusliyanto, anggota Dewan, saya tanya Pak Rusliyanto di mana rumahnya? Di gunung, waduh bahaya kan," ungkap Aan.

 

Padahal, Aan mengaku bahwa uang itu diminta oleh Wakil Ketua I dari fraksi PDIP Natalis Sinaga. "Nah itu saya bingung, yang minta Natalis tapi dikasih Rusliyanto" imbuhnya.

 

Lebih lanjut, Aan mengatakan, selain uang Rp1 miliar, ia juga pernah menyerahkan uang Rp140 juta dan Rp100 juta dari rekanan kepada Erwin yang merupakan ajudan Mustafa. Aan menyerahkan uang itu karena Erwin menelepon dan meminta uang untuk kebutuhan operasional.

 

"Lalu Ismail ajudan bupati juga pernah serahkan uang antara Rp60-100 juta, saya laporkan pak Taufik. Itu dari rekanan, biasanya ketemu Pak Taufik nanti saya dihubungi lalu saya ambil," terangnya.

 

Dalam surat dakwaan yang dibacakan penuntut umum Ali Fikri di Pengadilan Tipikor Jakarta Senin (14/5), Mustafa didakwa bersama-sama Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah Taufik Rahman memberikan sesuatu sebesar Rp9,695 miliar kepada Anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah periode 2014-2019.

 

Anggota DPRD tersebut, antara lain Wakil Ketua I dari Fraksi PDIP Natalis Sinaga, Anggota DPRD dari Fraksi PDIP Rusliyanto yang penuntutannya dilakukan dalam berkas terpisah. Kemudian, Ketua DPRD Lampung Tengah Achmad Junaidi, Sunardi, Ketua Fraksi PDIP Raden Sugiri, Bunyana dan Ketua Fraksi Gerindra Zainuddin.

 

Ali menjelaskan, uang suap sebesar Rp9,695 miliar diberikan kepada sejumlah anggota DPRD Lampung Tengah untuk mendapatkan pinjaman dari PT Sarna Multi Infrastruktur (SMI) senilai Rp300 miliar.

 

"Agar memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI sebesar Rp300 miliar pada TA 2018 dan menandatangani surat pernyataan kesediaan pimpinan DPRD Kabupaten Lampung Tengah untuk dilakukan pemotongan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan atau Dana Bagi Hasil (DBU) Lampung Tengah dalam hal terjadi gagal bayar," paparnya.

 

Uang itu digunakan untuk keperluan pembangunan infrastruktur berupa ruas jalan dan jembatan Demi memenuhi persyaratan pinjaman daerah wajib mendapatkan persetujuan DPRD, Mustafa juga meminta pertimbangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan dijawab belum dapat memberikan pertimbangan pinjaman daerah karena pemkab Lampung Tengah belum melengkapi persyaratan berupa dokumen Persetujuan DPRD, Rancangan APBD 2018 dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah TA 2016.

 

Saat 31 Oktober 2017 pada rapat di kantor DPRD, sikap mayoritas fraksi di DPRD Lampung Tengah juga yang tidak setuju dilakukan pinjaman daerah kepada PT SMI kecuali fraksi PKS, sehingga Mustafa bertemu dengan Natalis Sinaga di rumah dinas bupati.

 

"Pada pertemuan tersebut terdakwa meminta agar Natalis dan Fraksi PDIP menyetujui pinjaman daerah dan mengajak dan mempengaruhi anggota DPRD dari Gerindra dan Demokrat untuk menyetujui pinjaman daerah sehingga dapat dituangkan dalam APBD Lampung Tengah TA 2018. Natalis lalu meminta Mustafa agar menyediakan uang sebesar Rp5 miliar untuk unsur pimpinan DPRD, para ketua fraksi dan para anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah," jelas Ali.

 

Mustafa menyetujuinya dan menjanjikan akan memenuhi permintaan uang itu dengan mengatakan nanti Taufik selaku Kepala Dinas (Kadis) Bina Marga yang akan menyerahkan uangnya. Mustafa lalu meminta Taufik untuk merealisasikan permintaan tersebut. Namun Natalis menyampaikan adanya tambahan permintaan uang Rp3 miliar untuk Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dari Partai Demokrat, PDIP dan Partai Gerindra.

 

Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Natalis mengatakan apabila para Ketua DPD itu tidak diberikan uang kemungkinan partai mereka tidak akan menyetujui pinjaman daerah masuk dalam APBD TA 2018. Taufik pun menemui Natalis dan menyampaikan bahwa Mustafa sudah menyetujui permintaannya tambahan uang sebesar Rp3 miliar.

 

Ali melanjutkan, penyerahan uang total Rp8 miliar tidak diberikan sekaligus karena yang tersedia belum sebanyak itu. Lalu, Mustafa mengarahkan Taufik agar mengumpulkan uang dengan cara menghubungi para rekanan, antara lain Simon Susilo dan Budi Winarto alias Awi yang nantinya akan mengerjakan proyek Tahun Anggaran (TA) 2018. Dimana, dana proyek itu berasal dari pinjaman daerah.

 

Simon bersedia memberikan kontribusi sebesar Rp7,5 miliar dengan imbalan dua proyek total anggaran Rp67 miliar, sedangkan Budi memilih satu paket proyek pekerjaan senilai Rp40 miliar dengan kontribusi Rp5 miliar. Uang untuk DPRD direalisasikan secara bertahap pada November-Desember 2017 dengan total penyerahan uang sebesar Rp8,695 miliar.

 

Setelah adanya pemberian uang dengan jumlah keseluruhan Rp8,695 miliar, pada 29 November 2017 dilakukan rapat paripurna DPRD Lampung Tengah yang pada pokoknya menyetujui pinjaman daerah tersebut dan dapat menuangkannya ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TA 2018.

 

Setelah APBD Lampung Tengah TA 2018 disahkan DPRD, Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah mengajukan permohonan pinjaman daerah secara resmi kepada PT SMI sebesar Rp300 miliar. Namun, PT SMI menginformasikan ada satu persyaratan lagi yang wajib dipenuhi, yaitu berupa Surat Pernyataan dari Kepala Daerah yang juga disetujui Pimpinan DPRD mengenai kesediaan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) secara langsung apabila di kemudian hari terjadi gagal bayar atas pinjaman daerah tersebut.

 

Oleh karena itu, selaku Sekretaris Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kurtubi membuat konsep surat pernyataan untuk ditandatangani oleh Mustafa selaku Bupati dan empat pimpinan DPRD Lampung Tengah, yaitu Achmad Junaidi Sunardi selaku Ketua DPRD, Natalis Sinaga selaku Wakil Ketua I DPRD, Riagus Ria selaku Wakil Ketua II DPRD dan Joni Hardito selaku Wakil Ketua III DPRD Lampung Tengah.

 

Akan tetapi, sambung Ali, Natalis menyampaikan bahwa Taufik belum memenuhi janjinya untuk memberikan uang kepada pimpinan DPRD sebesar Rp2,5 miliar. Apabila Taufik tidak memenuhi janjinya, maka Natalis dan pimpinan DPRD lainnya tidak akan menandatangani Surat Pernyataan mengenai kesediaan pemotongan DAU atau DBH yang saat itu belum ditandatangani tiga pimpinan DPRD, yaitu Achmad Junaidi, Natalis Sinaga dan Riagus Ria.

 

Mustafa lalu meminta Taufik untuk mencari rekanan yang belum membayar kontribusi proyek di Dinas Bina Marga Tahun Anggaran 2018. Didapat rekanan Miftahullah Maharano Agung alias Rano untuk memberikan kontribusi proyek TA 2018 sebesar Rp900 juta. Taufik lalu memerintahkan Supranowo untuk menggenapkan uang itu menjadi Rp1 miliar. Uang lalu diberikan pada 13 Februari 2018.

 

Setelah itu, petugas KPK melakukan penangkapan terhadap Natalis dan Rusliyanto, serta mengamankan uang pemberian Mustafa melalui Taufik sebesar Rp1 miliar. Namun, ketika dihitung jumlah uang bukan Rp1 miliar, melainkan hanya sebesar Rp996,15 juta.

 

Mustafa didakwa dengan menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No.20 Tahun 2001 (UU TIpikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Demikian pula Taufik yang didakwa dalam sidang terpisah pada Senin (7/5).

 

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

 

Tags:

Berita Terkait