Tanah Rakyat di Ambang Resesi
Kolom

Tanah Rakyat di Ambang Resesi

Beberapa catatan kritis dalam perspektif hukum administrasi negara menyikapi lahirnya peraturan kebijakan mengenai sertipikat elektronik.

Bacaan 5 Menit

Dengan demikian, bagaimana mungkin suatu saat ketika muncul konflik pertanahan, namun terdapat perbedaan substansi dalam sertipikat elektronik, sementara bentuk tertulisnya sudah ditarik. Tentu hal ini akan menjadi persoalan baru dari sisi hukum administrasi dan hukum acara PTUN. Artinya, norma Permen tersebut dapat mengganggu jalannya administrasi pemerintahan.

Di samping itu, Permen ini juga dinilai bertentangan dengan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, di mana undang-undang tersebut menegaskan bahwa ketentuan mengenai Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis. Perlu diingat bahwa sampai saat ini karakteristik dari sertipikat tanah masih bersifat tertulis. Sebab sertipikat merupakan dokumen hukum berisikan hak-hak seseorang sebagai pemilik tanah.

Ketiga, memang diakui bahwa tujuan utama pendaftaran tanah adalah memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah (Rechts Cadaster/Legal Cadaster). Tentu dengan ditariknya sertipikat asli secara bertahap, maka secara tidak langsung identitas asli dari pemegang hak atas tanah menjadi ‘hilang’, meskipun secara legalnya tanah tersebut dikuasai oleh negara dengan bentuk sertipikat elektronik.

Sebab, dari sisi HAM, rakyat berhak menyimpan sertipikat asli yang telah diterbitkan. Seharusnya jika ini diniatkan dalam rangka memberikan kemudahan bagi masyarakat dan mewujudkan tertib administrasi pertanahan, sertipikat elektronik mestinya menjadi komplementer/pelengkap saja. Jadi, digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertipikat asli. Sebab, jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah meliputi kepastian status hak yang didaftar, subjek hak, dan objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Justru jika itu dilakukan maka pemerintah secara tidak langsung melakukan perampasan terhadap hak atas tanah masyarakat.

Keempat, sebagaimana diketahui bahwa konflik agraria di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Terbukti sampai saat ini tanah-tanah yang bersertipikat pun banyak yang bermasalah. Misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan. ‘Menariknya’ Permen ini seakan memaksa agar semua bidang tanah di Indonesia harus di sertipikatkan secara elektronik, terlepas itu sedang berkonflik atau tidak.

Hal tersebut diuraikan dalam Pasal 15 ayat (1), di mana Penggantian Sertipikat menjadi Sertipikat-el dilakukan apabila data fisik dan data yuridis pada buku tanah dan sertipikat telah sesuai dengan data fisik dan data yuridis dalam Sistem Elektronik. Jika data fisik dan data yuridis belum sesuai maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan validasi. Kebijakan ini tentu saja dinilai berisiko bagi masyarakat. Sebab, banyak sertipikat badan usaha atau pihak swasta masuk dalam wilayah-wilayah konflik agraria dengan masyarakat. Jika sertipikat elektronik tetap diberlakukan, persoalan itu mesti dituntaskan terlebih dahulu, sehingga masyarakat tidak menjadi imbas dari konflik tersebut.

Kelima, berdasarkan kekhawatiran dan dampak dari diberlakukannya sertipikat elektronik, semakin kesini pemerintah semakin menunjukkan bahwa sistem administrasi pertanahan di Indonesia lebih diorientasikan pada terciptanya percaturan pemanfaatan tanah yang sarat akan konflik kepentingan dengan mengorbankan identitas asli masyarakat sebagai pemegang daulat hak atas tanah. Itu semua sesungguhnya imbas dari regulasi Omnibus Law Cipta Kerja yang mengedepankan investasi namun mengabaikan partisipasi. Tentu jika beleidsregel ini dibiarkan, maka suatu saat akan menjadi bom waktu kehancuran bagi rakyat meskipun hanya memiliki sejengkal tanah dan reforma agraria hanya akan menjadi ‘hiasan bibir’ pemerintah semata.

*)Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait