Tanpa Pengakuan Bersalah, Keadilan Restoratif Sulit Tercapai
Utama

Tanpa Pengakuan Bersalah, Keadilan Restoratif Sulit Tercapai

Pelibatan masyarakat sangat penting. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung, suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya demi tujuan keadilan restoratif. Tapi, ada syaratnya.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Narasumber yang memberikan pandangan mengenai restoratif justice dalam webinar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung. Foto: Istimewa
Narasumber yang memberikan pandangan mengenai restoratif justice dalam webinar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung. Foto: Istimewa

Pengakuan bersalah dari pelaku kejahatan adalah prasyarat keadilan restoratif. Tanpa ada pengakuan dari orang yang melakukan kejahatan, keadilan restoratif yang diinginkan dalam penyelesaikan masalah akan sulit tercapai. Menerima dan mengakui kesalahan adalah bagian dari upaya menerima tanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Selain itu, pelibatan masyarakat juga sangat penting dan menentukan keberhasilan keadilan restoratif.

Demikian antara lain benang merah yang dapat ditarik dari webinar ‘Perkembangan Keadilan Restoratif di Indonesia’, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Bandung, Rabu (2/9). “Bagaimana menyelesaikan suatu masalah tanpa ada pengakuan bersalah. Pengakuan itu adalah prasyarat restorative justice,” kata Agustinus Pohan, Dosen Fakultas Hukum Unpar.

Para pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum di Indonesia telah menaruh perhatian pada pendekatan restorative justice dalam beberapa tahun terakhir. Pendekatan ini dianggap sebagai jawaban atas persoalan penyelesaian perkara melalui lembaga formal peradilan dalam sistem peradilan pidana (SPP).

Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengartikan Keadilan Restoratif sebagai penyelesaian perkara tindak dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/keluarga korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Undang-Undang ini mewajibkan aparat penegak hukum  mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA).

(Baca juga: Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Penipuan/Penggelapan).

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia, Santi Kusumaningrum, mengatakan UU SPPA adalah salah satu upaya menerapkan keadilan restoratif dalam pembangunan hukum dan sosial, khususnya untuk anak. Ini penting digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum.

Regulasi terbaru adalah berkaitan dengan keadilan ini adalah Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perja ini dibuat antara lain karena pendekatan keadilan restoratif sudah merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaruan sistem peradilan pidana.

Agustinus Pohan mengapresiasi kehadiran Perja ini, tetapi mengkritik substansinya terutama berkaitan dengan ketiadaan pengakuan bersalah dan masalah pelibatan masyarakat. Pasal 5 ayat (1) Perja No. 15 Tahun 2020 menentukan perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif jika terpenuhi tiga syarat. Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari 2,5 juta rupiah.

Menurut dia, Perja ini sama sekali tidak mengatur pentingnya pengakuan bersalah dari tersangka. Padahal, pengakuan menjadi prasyarat tercapainya keadilan restoratif. Pengakuan adalah awal dari pemikulan tanggung jawab. Keadilan restoratif tidak lepas dari tanggung jawab pelaku guna memulihkan korban dan masyarakat. “Keadilan restoratif merupakan suatu proses untuk menerima tanggung jawab,” tegas Agustinus.

Pelibatan masyarakat

Pelibatan masyarakat juga sangat penting dalam keadilan restoratif. Pada tataran filosofis, dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Ufran, mengatakan kekuatan gerakan restorative justice adalah untuk menarik dan menginspirasi peserta yang pada akhirnya berakar pada sifat alamiah social kemanusiaan. Komunitas tidak mungkin dipinggirkan ketika melaksanakan proses restorative justice karena fungsi komunitas terjadi secara alamiah ketika orang-orang dipertemukan dalam saling ketergantungan dan timbal balik dalam hubungan akuntabilitas dan kepedulian. Artinya, para pihak yang terlibat sama-sama berperan sesuai porsinya agar pemulihan dapat dilakukan bukan saja antara pelaku dan korban, tetapi juga kepentingan masyarakat. “Inilah tepatnya praktik restoratif yang dirancang untuk dilakukan,” paparnya.

Pentingnya pelibatan masyarakat juga dapat dilihat dari latar belakang lahirnya gagasan restorative justice. Menurut Ufran, keadilan restoratif tidak muncul sebagai gerakan terpusat atau terkoordinasi, tetapi lebih sebagai inovasi dan eksprimen di banyak tempat dan keadaan antara lain karena kegagalan lembaga formal menyelesaikan persoalan. Lembaga formal peradilan dipandang tidak mampu menyelesaikan perkara secara utuh dan menyeluruh. Seolah-olah hanya lewat SPP maka ketertiban akan tercipta. Padahal, SPP sendiri memiliki cacat bawaan terkait monopoli ketertiban dan meninggalkan stigma pada korban dan pelaku. “SPP tidak berhasil membangun keuntuhan masyarakat,” ujarnya dalam webinar yang sama.

Agustinus berpandangan bahwa masyarakat berperan penting baik dalam kapasitasnya sebagai pihak terdampak (korban dan keluarganya) maupun dalam menentukan keberhasilan pemulihan pelaku. Masyarakat menentukan apakah kesepakatan restoratif merupakan suatu kesepakatan yang adil atau bukan. “Masyarakat menentukan keberhasilan integrasi pelaku,” ujarnya.

(Baca juga: Penyiksaan Saat Penyidikan Justru Menguntungkan Orang Bersalah, Kok Bisa?).

Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 pada dasarnya juga mengakui pentingnya peran masyarakat. Pasal 4 ayat (1) huruf d menegaskan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan banyak hal antara lain ‘respon dan keharmonisan masyarakat’. Pasal 8 ayat (2) menambahkan bahwa upaya perdamaian dapat melibatkan keluarga korban dan keluarga tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait sepanjang dianggap perlu.

Jaksa Agung ST Burhanuddin telah memberikan amanat kepada bawahannya untuk memehami dan mencermati makna filosofis di balik Perja No. 15 Tahun 2020. “Laksanakan ketentuan tersebut secara professional, proporsional dan akuntabel, serta berlandaskan pada hati nurani,” ujar Jaksa Agung dalam amanatnya pada pengambilan sumpah para pejabat Kejaksaan, di Jakarta, 5 Agustus lalu.

Tags:

Berita Terkait