Tantangan Keamanan Siber Makin Besar, Indonesia Dorong Tata Kelola Data Lintas Negara
Terbaru

Tantangan Keamanan Siber Makin Besar, Indonesia Dorong Tata Kelola Data Lintas Negara

Pemerintah berupaya meningkatkan pemahaman praktik tata kelola data agar mampu memfasilitasi arus data di tingkat regional maupun global yang interoperable dan terpercaya (trusted).

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi.
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi.

Peningkatan pemanfaatan teknologi digital berbasis data mengakibatkan pertukaran arus data mengalir melampaui batas-batas negara.  Menurut Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi, kondisi itu meningkatkan risiko serangan siber.

Data UNCTAD pada tahun 2021 memproyeksikan peningkatan lalu lintas data bulanan global dari 230 exabytes per bulan pada tahun 2020 menjadi 780 exabytes per bulan pada tahun 2026 atau meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun.

"Forum Ekonomi Dunia di tahun 2022 memperkirakan, dalam kurun waktu satu menit, sebanyak 197,6 juta email telah tertukar, 69 juta pesan Whatsapp dikirimkan, dan 500 jam konten Youtube diunggah," kata Dedy dalam Hukumonline International Law Webinar Series, Kamis (28/7).

Baca Juga:

Seiring dengan peningkatan arus data yang eksponensial ini, risiko serangan siber pun ikut meningkat. Dedy Permadi menyontohkan, serangan ransomware meningkat 105% sepanjang tahun 2020 dan lebih dari tiga kali lipat jumlah serangan pada tahun 2019.

"Serangan siber terhadap perusahaan meningkat sebanyak 31% dari tahun 2020 ke 2021 dengan jumlah serangan per perusahaan dengan rata-rata 206 serangan per tahun menjadi 270 serangan di 2021," jelasnya.

Di tengah laju arus data yang bergerak semakin cepat dan juga risiko yang mengikuti, Pemerintah Republik Indonesia berupaya meningkatkan pemahaman praktik tata kelola data agar mampu memfasilitasi arus data di tingkat regional maupun global yang interoperable dan terpercaya (trusted).

"Berangkat dari kebutuhan tersebut, Digital Economy Working Group (DEWG) dalam Presidensi G20 Indonesia pada tahun 2022 yang diampu oleh Kementerian Kominfo mengangkat isu Data Free Flow With Trust (DFFT) dan Cross-border data flow (CBDF) bersama isu Konektivitas dan pemulihan pasca COVID-19; dan Kecakapan digital dan literasi digital sebagai isu prioritas DEWG," jelas Dedy.

Menurut Dedy, sepanjang gelaran pertemuan DEWG yang dimulai dari bulan Maret 2022. Khususnya di Pertemuan Ketiga DEWG 20-22 Juli 2022 lalu, DEWG melakukan pembahasan DFFT dan CBDF bersama pemangku kepentingan terkait seperti akademisi, organisasi internasional, pelaku usaha, dan beberapa perwakilan masyarakat sipil.

"Kami mendorong pembahasan fairness, lawfulness, transparency, dan reciprocity untuk menjadi rujukan tata kelola data lintas batas negara. Melalui diskusi ini, DEWG berharap dapat memfasilitasi ruang diskusi untuk mengidentifikasi elemen konvergensi baik di level nasional, regional maupun multilateral untuk mendorong interoperabilitas data untuk menghadirkan arus data lintas batas yang terpercaya," jelasnya.

Dedy Permadi mengapresiasi Hukumonline International Law Webinar Series 2022 yang akan menjadi salah satu sarana untuk memperluas pengetahuan peserta dalam memahami unsur-unsur signifikan suatu kegiatan arus data lintas batas.

"Ini menjadi momentum partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung pembahasan terkait arus data di forum DEWG dalam rangka mewujudkan pemulihan ekonomi pasca-pandemi melalui teknologi digital," ungkapnya.

Stafsus Menteri Kominfo Bidang Digital dan SDM mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menghadirkan ekosistem digital yang inklusif, memberdayakan, dan berkelanjutan.

"Mari terus perkuat kolaborasi dan sinergi: bersama kita bangkit, untuk mewujudkan ruang digital yang lebih sehat, aman, dan produktif bagi semua," tandasnya.

Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (FHUEU) Wasis Susetio menilai keamanan siber di Indonesia masih rentan terhadap serangan cybercrime. Bahkan cenderung terjadi peningkatan serangan siber dari tahun ke tahun.

Mengutip catatan pusat operasi keamanan siber nasional BSSN sepanjang periode Januari hingga Agustus 2020 terdapat 190 juta serangan siber, dan 36.771 akun data yang tercuri di sejumlah sektor, termasuk sektor keuangan. serangan tersebut dicatat mengalami kenaikan peningkatan lima kali lipat dari tahun 2019.

Wasis menyebut karakteristik dunia maya seperti tidak ada batas, selalu tersedia selama 24 jam, tak perlu izin saat menggunakan, dan tanpa sensor menjadi permasalahan tersendiri dalam konteks hukum. Khususnya terkait berbagai hubungan perdata maupun pidana ketika terjadi kejahatan.

Apalagi, lanjut Wasis, di ruang cyberspace saat ini semua transaksi jual beli serta promosi melalui iklan dilakukan secara online, dan mengabaikan semua kewajiban administrasi, pajak dan hukum keperdataan yang diatur oleh negara.

Melihat karakteristik kejahatannya, Wasis menegaskan pemberantasan cybercrime bukanlah perkara yang mudah. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa kendala dalam penanggulangan kejahatan siber ini, pertama belum adanya persamaan defenisi hukum mengenai cybercrime. Meskipun dalam tataran teoritis sudah banyak ahli yang mencoba untuk memberikan defenisi mengenai cybercrime.

Kedua, formulasi hukum yang ada belum dapat menjangkau perkembangan kejahatan yang dilakukan di dunia maya. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki UU tentang perlindungan data pribadi. Sementara ini Indonesia baru mengeluarkan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU No.19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Dan ketiga karakteristik kejahatan di dunia maya menunjukkan bahwa kejahatan ini dapat melintasi yurisdiksi negara, sementara keberadaan perjanjian internasional mengenai penegakan hukum cybercrime masih sangat terbatas.

Tags:

Berita Terkait