Tantangan Mewujudkan Reforma Agraria
Utama

Tantangan Mewujudkan Reforma Agraria

Masih mengedepankan egosektoral. Melalui UU Cipta Kerja dianggap menjadi harapan. Tapi, sebagian pihak tetap merasa pesimis dengan upaya pemerintah dalam mereforma agraria.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Pesimis

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana pesimis dengan upaya pemerintah dalam mereforma agraria. Alih-alih mereforma agraria, instrumen hukum yang digunakan malah berpotensi besar merugikan masyarakat adat. Menurutnya, reforma agraria tak lepas dari UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2020.

Melalui UU 3/2020, setidaknya terdapat tiga implikasi. Pertama, diperkenalkannya konsep baru bernama wilayah hukum pertambangan yakni seluruh ruang laut, darat termasuk ruang bumi sebagai satu kesatuan wilayah. Yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landasan kontinen. Dia menilai dengan luasnya samudra dan daratan dan bumi Indonesia diletakan secara parsial.

“Maka seluruh wilayah teritorial indonesia sebagai wilayah pertambangan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertambangan,” ujarnya.

Kedua, jaminan permanen dan mutlak yakni wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan tak akan diubah peruntukan ruangnya. Ketiga, perlindungan ruang hidup masyarakat yakni masyarakat yang terkena dampak langsung dari usaha pertambangan berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dari pengusahaan kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 UU 3/2020.

Menurutnya, UU 3/2020 malah menunjukan keberpihakan negara terhadap perusahaan pertambangan. Dengan begitu, penyelesaikan konflik pertambangan tak lagi menjadi kewenangan pemerintah. Akibatnya, negara melakukan pembiaran masalah pertambangan dengan masyarakat adat dan lokal. Apalagi terdapat relasi yang tak seimbang antara masyarakat adat dengan perusahaan tambang.

“Kehadiran negara sangat dibutuhkan. Apalagi bila konflik terjadi, satu-satunya yang dapat digunakan adalah Pasal 145 UU 3/2020. Dengan begitu, mereduksi persoalan tambang hanya menjadi persoalan sengketa tanah terkait ganti rugi,” ujarnya.

Padahal, konflik pertambangan acapkali pertentangan soal nilai dan cara pandang dalam melihat sumber daya alam. Bagi masyarakat adat, kata Wardhana, tanah ulayat memiliki nilai sakral dan memiliki daya penghubung dengan leluhur dan generasi berikutnya. Ironisnya, bila terjadi sengketa tanah, norma Pasal 145 UU 3/2020 yang digunakan masih menimbulkan kesulitan bagi masyarakat adat untuk memperoleh ganti rugi yang layak. Sebab, terdapat persyaratan keharusan membuktikan adanya kesalahan dari perusahaan tambang

“Padahal, masyarakat tidak punya pengetahuan soal pertambangan. Masyarakat pun diarahkan negoisasi untuk memperoleh ganti rugi. Masalahnya ketiadaan kehadiran negara menjadi sulit untuk mendapat ganti rugi di bidang pertambangan,” lanjutnya. 

Terkait UU Cipta Kerja yang digadang-gadang pemerintah menjadi terobosan mengatasi persoalan reforma agraria, bagi Wardhana, UU 11/2020 pun masih menuai persoalan. Alih-alih menjadi terobosan, UU 11/2020 beserta turunannya pun malah berpotensi mendegradasi kepemilikan hak atas tanah masyarakat adat.

Tags:

Berita Terkait