Tantangan Penerapan Business Judgement Rule Pada Perusahaan BUMN di Indonesia
Utama

Tantangan Penerapan Business Judgement Rule Pada Perusahaan BUMN di Indonesia

Di Indonesia, BUMN lebih dominan dianggap sebagai badan publik dibandingkan sebagai badan hukum perdata. Kemudian status hukumnya tersebut membawa implikasi terhadap praktik penerapan BJR, yang cenderung diabaikan dan didominasi authority judgment rule (AJR) berkaitan dengan status publiknya.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

“Perdebatan ini harusnya sudah selesai. Kuatkan pengendalian lewat BJR, jangan sampai perdebatkan yang terjadi BJR diversuskan authority of judgement,” jelas Dian.

Selain itu Dian menegaskan bahwa BUMN bukanlah pengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, di mana pengelolaan keuangan negara meliputi presiden, menteri keuangan, Menteri/pimpinan lembaga, serta gubernur/bupati/walikota.

“Kalau BUMN masuk sebagai pengelola keuangan negara, maka revisi UU Keuangan Negara, ganti bunyi pasalnya dan diperluas. Selain itu mengacu pasal 23 ayat 1 UU 1945, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara. Kalau mau anggap APBN salah satu bentuk pengelolaan keuangan negara, maka pasal 23 ayat 1 dirubah dulu. Karena sejauh ini wujud pengelolaan keuangan negara itu Cuma satu ya APBN saja, tidak ada BUMN,” papar Puji.

Dalam beberapa putusan pengadilan, lanjut Puji, diantaranya selalu mengatakan bahwa terdakwa dianggap tidak melakukan analisis yang memadai dan meyakinkan saat mengambil keputusan dan kebijakan di perusahaan BUMN. Namun pertanyaannya adalah kriteria apa yang dipakai dalam pertimbangan putusan tersebut, apakah AJR atau BJR.

“Jika masalahnya adalah fungsi privat saja maka uji dengan privat, enggak mungkin privat diuji dengan publik, pasti kalah. Sepanjang di manage risikonya, dan ada itikad baik. Tapi itikad tidak baik itu apa, kategorinya apa, itu yang tidak jelas sampai sekarang,” tuturnya.

Dalam praktiknya, BUMN sebagaimana perusahaan pada umumnya selalu dihadapkan pada risiko dan penyimpangan, tetapi perusahaan membuat aturan mitigasinya, melalui sistem korporasi yang transparan dan akuntabel. Kunci dalam penerapan BJR terletak pada ketersediaan protokol mitigasi dan sistem pengawasan intern BUMN, sehingga bekerja sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang apabila organ BUMN dan/atau APH menolak hasil pengawasan intern, dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 138 UUPT.

Sementara itu Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep Nana Mulyana menambahkan bahwa aparat penegak hukum memiliki dua persepsi terhadap doktrin BJR. Pertama adalah melindungi para eksekutif perusahaan yang telah menjalankan secara profesional semata-mata untuk kepentingan perusahaan.

Artinya sudah beriktikad baik berdasarkan iktikad baik (good faith), telah memperoleh informasi yang cukup (well informed), dan secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the best interest of the corporation).

Kedua, agar tidak adanya oknum eksekutif perusahaan menyalahkan kedudukan dan kewenangan. Seperti adanya benturan kepentingan dan keuntungan pribadi, dan mengandung unsur Pidana karena telah menyalahi kewenangan.

“Bukan keputusan bisnisnya yang dipidanakan tetapi terdapat kesalahan yang dilakukan direksi dalam pengambilan keputusanlah yang dipidana,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait