Tentang Aktualisasi Yurisprudensi
Kolom

Tentang Aktualisasi Yurisprudensi

​​​​​​​Memang terbuka peluang bagi akademisi hukum untuk mengembangkan kajian-kajiannya, tetapi itu hanya akan terjadi jika terdapat dialog yang berkelanjutan dengan praktik peradilan.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua pendapat tersebut sama-sama didasarkan pada Pasal 61 ayat (2) huruf a UU No. 15/2001 tentang Merek (lama), meskipun dengan kesimpulan yang berbeda. Kaidah hukum yang kemudian ditetapkan dalam laporan tahunan memang menggali lebih dalam dengan tambahan ‘[tidak digunakannya merek terkait] didasarkan pada hasil market survei – tanpa perlu mempertimbangkan kredibilitas lembaga survei-nya’, meskipun pendapat tersebut tak disebutkan dalam putusan.

 

Begitu pula kaidah hukum berikutnya, bahwa ‘pengetahuan hakim di luar persidangan tidak diakui sebagai fakta hukum’. Kedua kaidah ini sepertinya dimaksudkan untuk menyanggah pendapat berbeda salah satu hakim majelis tadi, meskipun tak disebutkan dalam putusan itu sendiri.

 

Namun, pertanyaannya, apakah terdapat ‘kebaruan’ dalam kaidah hukum tersebut? Bagaimanapun, tak ada rujukan ke kaidah-kaidah hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung sendiri, seperti bagaimana pembuktian tidak digunakannya merek dalam waktu 3 tahun itu (lihat SEMA Nomor 7 Tahun 2012, hlm. 11-13).

 

Tetapi yang lebih mengundang pertanyaan, tak jelas pula mengapa pertanyaan pemohon kasasi mengenai dinyatakan sahnya pendaftaran merek sama sekali tidak dibahas. Padahal, perkara ini akhirnya menarik perhatian dunia usaha (yang barangkali menyebabkan putusan itu dijadikan sebagai putusan penting), justru terkait pendaftaran merek terkenal sebagaimana dipertanyakan oleh Pemohon Kasasi.

 

Pada akhirnya, dampak putusan itu sendiri terbatas. Bukan hanya dalam perkara itu sendiri khususnya, tetapi juga bagi kebijakan hukum nasional secara umum. Bagi mereka yang mungkin mengikuti, akan mendapati pula bagaimana isu kepastian hukum mengenai perlindungan merek terkenal ditegaskan lagi oleh pembuat kebijakan di Indonesia beberapa waktu terakhir ini (lihat salah satu poin perubahan dalam UU No. 20/2016 dan Permenkumham No. 67/2016).

 

Ini pula yang barangkali membuat Mahkamah Agung mengadakan seminar untuk mendiskusikan isu tersebut dengan pihak-pihak di luar peradilan akhir tahun lalu, serta bukan kebetulan jika Ketua Kamar Perdata dan hakim yang berpendapat berbeda dalam putusan IKEA tadi turut hadir.  

 

Menurut hemat penulis, inilah tantangan nyata sehubungan dengan permasalahan yurisprudensi tadi, meskipun inisiatif dari Mahkamah Agung untuk mempublikasikan pendapat-pendapatnya mengenai isu-isu hukum tertentu, sekaligus penyelenggaraan rapat pleno secara berkala, memang telah membuka ruang diskursus yang menjanjikan. Pendeknya, bukan sekadar tersedia atau tidaknya pendapat-pendapat dalam putusan terdahulu, namun bagaimana aktualisasi dari pendapat-pendapat itu sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait