Terbukti Monopoli, Perusahaan Semen Ini Didenda KPPU Rp22 Miliar
Berita

Terbukti Monopoli, Perusahaan Semen Ini Didenda KPPU Rp22 Miliar

PT. Conch South Kalimantan Cement (CONCH) dinilai dengan sengaja menurunkan harga semen atau jual rugi untuk menguasai pasar.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali menyelesaikan perkara persaingan usaha. Kali ini, KPPU menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp22 miliar kepada PT. Conch South Kalimantan Cement (CONCH). CONCH menjadi Terlapor dalam Perkara No. 03/KPPU-L/2020. Anak perusahaan semen asal China ini terbukti melakukan monopoli dan dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 20 UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).

 Pasal 20:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Pelanggaran yang dilakukan CONCH adalah terkait njualan semen jenis Portland Composite Cement (PCC) di wilayah Kalimantan Selatan. Putusan dibacakan oleh majelis hakim Ukay Karyadi sebagai Ketua Majelis Komisi; Kodrat Wibowo dan Harry Agustanto masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi. secara daring pada Sabtu, (16/1). Atas pelanggaran tersebut CONCH dijatuhkan denda sejumlah Rp 22.352.000.000 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh dua juta rupiah).

Kasus ini bermula dari laporan publik. Dalam laporan publik tersebut disebut adanya dugaan pelanggaran Pasal 20 UU No. 5/1999, khususnya terkait upaya jual rugi dan/atau penetapan harga yang sangat rendah oleh CONCH dalam penjualan semen PCC di Kalimantan Selatan. (Baca: KPPU Apresiasi Pertimbangan Persaingan Usaha Sehat di UU Cipta Kerja)

Berdasarkan proses persidangan yang mulai digelar pada 23 Juni 2020 tersebut dan alat bukti yang diperoleh, Majelis Komisi menyimpulkan bahwa CONCH telah melakukan jual rugi pada tahun 2015, serta menetapkan harga yang sangat rendah pada tahun 2015 – 2019.

Tindakan jual rugi tersebut disimpulkan melalui bukti yang menunjukkan harga jual rata-rata yang lebih rendah dibandingkan harga pokok penjualan untuk penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan. Hal tersebut turut diperkuat oleh Laporan Keuangan di tahun 2015, dimana CONCH mengalami kerugian sebagai akibat dari perilaku tersebut.

Pada 2015 lalu, CONCH di Kalimantan Selatan menjual semen jenis Portland Composite Cement (PCC) seharga Rp58 ribu per zak 50 kilogram. Sementara, Semen Gresik dari BUMN Semen Indonesia menjual seharga Rp60 ribu-Rp65 ribu untuk berat kemasan serupa. Hal itu dilakukan oleh CONCH di tahun-tahun berikutnya yang secara perlahan membuat semen dari luar Kalimantan tersingkir dari pasar.

Penetapan harga yang sangat rendah disimpulkan melalui alat bukti yang menunjukkan harga jual rata-rata CONCH lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan.

Kemudian Majelis Komisi juga menemukan bahwa CONCH secara kepemilikan dikendalikan oleh Anhui Conch Cement Company Limited selaku induk utama perusahaan multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang kuat dan berpeluang besar untuk menguasai industri semen secara global.

Dengan dukungan tersebut, CONCH memiliki kemampuan dan kekuatan modal finansial untuk menjalankan strategi bisnis dari proses produksi hingga pemasaran, termasuk strategi penetapan harga agar lebih murah dibandingkan harga pasar dan/atau harga pelaku usaha pesaingnya.

Penerapan berbagai strategi harga tersebut di atas, berdampak pada peningkatan pangsa pasar CONCH secara signifikan dan keluarnya 5 (lima) pelaku usaha pesaing dari pasar penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan pada tahun 2015 – 2019. Hal ini mengakibatkan pasar semen tersebut semakin terkonsentrasi dan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan hukuman berupa denda administratif kepada CONCH sejumlah Rp 22.352.000.000 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh dua juta rupiah) atas pelanggaran Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Denda tersebut harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha.

“Pembayaran tersebut dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) serta melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda ke KPPU,” demikian petikan putusan yang dibacakan oleh Ukay.

Menanggapi putusan KPPU, Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia (FSP-ISI) dan Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade menyambut putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) soal praktik jual rugi (predatory pricing) di industri semen yang dilakukan oleh anak perusahaan semen China, PT Conch South Kalimantan Cement (CONCH).

Menurut Andre, putusan KPPU tersebut merupakan kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia dalam melawan hegemoni asing di industri semen nasional. "Pada Agustus 2019 saya bersama rekan-rekan serikat pekerja industri semen melawan secara konstitusional dengan mendaftarkan gugatan dugaan adanya predatory pricing ini di KPPU. Alhamdulillah pada Jumat (15/1) kemarin, KPPU telah memutuskan bahwa PT Conch South Kalimantan Cement (CONCH) terbukti secara menyakinkan melanggar pasal 20 UU No 5/1999 sebagaimana dinyatakan dalam sidang pembacaan putusan oleh majelis Komisi," kata Andre seperti dikutip Antara, Senin (18/1).

Lebih lanjut, Andre mengapresiasi putusan KPPU tersebut karena dinilai akan menyelamatkan industri semen domestik. Andre menganggap putusan itu adalah sinyal kepada pelaku pasar bahwa negara tidak akan pernah kalah oleh cara-cara curang dalam usaha menguasai pasar. "Kami menunggu hingga 1,5 tahun hingga akhirnya putusan ini keluar," ujarnya.

Selain soal praktik jual rugi yang terjadi di industri semen nasional, Andre juga konsisten memperjuangkan dilakukannya moratorium pembangunan pabrik semen baru. Menurut dia, moratorium pembangunan pabrik semen baru penting untuk dilakukan karena kondisi saat ini, di mana semen nasional dalam kondisi kelebihan.

"Alhamdulillah pada Februari 2020, BKPM, Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian sepakat untuk melakukan moratorium pembangunan pabrik semen baru di Indonesia. Ini artinya, perjuangan untuk melindungi industri strategis nasional mulai menunjukkan hasil. Pertama, terkait dengan dijatuhkannya sanksi kepada pelaku praktik predatory pricing dan kedua terkait dengan moratorium pabrik semen baru. Semoga dua hal ini dapat menyelamatkan industri strategis nasional kita," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia (FSP-ISI) Kiki Warlansyah mengapresiasi putusan KPPU dan mengucapkan terima kasih atas perjuangan semua pihak yang secara konsisten mengawal perjuangan tersebut.

"Kami mengapresiasi putusan KPPU, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada Pak Andre yang telah berjuang bersama dan mengawal kasus ini dari tahap pelaporan hingga terbitnya putusan. Semoga putusan ini menjadi berkah bagi anak bangsa," katanya.

 

Tags:

Berita Terkait