Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya
Outsorcing Berkeadilan

Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya

Undang-Undang Ketenagakerjaan termasuk lima besar Undang-Undang yang dimohonkan uji ke Mahkamah Konstitusi. Tiga di antaranya menyinggung masalah pekerjaan alih daya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Menurut para pemohon, Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan telah menempatkan buruh sebagai faktor produksi semata yang dengan mudah dipekerjakan saat dibutuhkan dan dihentikan hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Ketentuan outsourcing berimbas pada pembayaran upah murah. Pemohon menyebut outsourcing sebagai perbudakan modern (modern slavery).

 

Namun argumentasi para pemohon mengenai konstitusionalitas outsourcing ditepis kesembilan hakim konstitusi. Mahkamah berpendapat ‘para pemohon tidak dapat membuktikan dasar dari dalil’ yang menyatakan outsourcing hanya menempatkan buruh sebagai komoditas dan tak ubahnya perbudakan modern. Menurut Mahkamah tak ada satupun dalil dalam UU Ketenagakerjaan yang menguatkan pendapat para pemohon.

 

Bagi Mahkamah, Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan menjelaskan keberadaan dan batasan outsourcing sebagai bagian dari pekerjaan yang terpisah dari kegiatan utama, yakni kegiatan penunjang perusahaan. Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Kala itu Mahkamah menegaskan hubungan kerja buruh outsourcing adalah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja. Perlindungan terhadap buruh outsourcing dapat disimak dari Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a dan c, dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

 

Hubungan kerja buruh outsourcing bisa berubah menjadi hubungan hukum dengan perusahaan pemberi kerja (user) jika ternyata buruh dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja; atau jika perusahaan penyedia jasa pekerja tidak berbentuk badan hukum. Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa yang harus dijaga adalah keseimbangan yang selaras antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan masyarakat. Intinya, Mahkamah menyatakan tudingan bahwa outsourcing merupakan perbudakan modern dalam proses produksi tidak terbukti

.

Faktanya, dua orang hakim konstitusi (Prof. Abdul Mukhtie Fadjar dan Prof. M Laica Marzuki) menyatakan pendapat berbeda. Menurut mereka, pengaturan outsourcing dalam UU Ketenakerjaan kebijakan yang kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi proteksi. Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan mengganggu ketenangan kerja para pekerja seolah buruh hanya komoditas sehingga kurang berwatak protektif terhadap pekerja. Artinya UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam Pembukaan dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

 

Upaya kedua: dua pertanyaan

Delapan tahun berselang setelah upaya pertama, muncul permohonan kedua. Kali ini yang maju adalah seorang Didik Suprijadi yang bertindak atas nama LSM Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonenesia (AP2ML). Di LSM ini, Didik menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat. Berbeda dari permohonan pertama, Didik langsung fokus memohonkan pengujian Pasal 59, dan 64-66 UU Ketenagakerjaan. Artinya, langsung ke pengaturan outsourcing. Menurut Didik, pasal-pasal outsourcing itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (2), dan 33 ayat (1) UUD 1945.

 

Ketika akan menguraikan pendapat hukum atas permohonan itu, Mahkamah Konstitusi mengajukan dua pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apakah hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan dari perusahaan lain bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, apakah hubungan kerja antara buruh dan perusahaan yang menyediakan pekerja berdasarkan PKWT bertentangan dengan UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait