Ukuran Teknis Yudisial Perlu Diperjelas
Berita

Ukuran Teknis Yudisial Perlu Diperjelas

Komunikasi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus terus dibangun.

MYS
Bacaan 2 Menit
Diskusi dan peluncuran buku Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial di Jakarta, Kamis (13/10). Foto: KY
Diskusi dan peluncuran buku Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial di Jakarta, Kamis (13/10). Foto: KY
Sebagai dua lembaga negara yang saling berkaitan, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus sering duduk bersama membahas masalah-masalah yang timbul di lapangan. Termasuk membicarakan penafsiran atas suatu rumusan materi perundang-undangan atau batas-batas kewenangan kedua lembaga.

Mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa berpendapat salah satu yang akan mempengaruhi hubungan Komisi Yudisial dan MA ke depan adalah tafsir terhadap istilah ‘teknis yudisial’. Komisi Yudisial acapkali memeriksa dugaan pelanggaran etika hakim yang dilaporkan setelah hakim memutuskan suatu perkara. Bagi Mahkamah Agung, pemeriksaan putusan hakim sudah masuk ke teknis yudisial yang berpotensi mengganggi independensi hakim. (Baca: KY Klaim Tidak Campuri Teknis Yudisial Hakim).

MA dan KY, kata Harifin, perlu duduk bersama melihat rambu-rambu pengawasan yang bersentuhan dengan teknis yudisial. Kedua lembaga perlu memperjelas parameter dan batasan apa yang dimaksud teknis yudisial. Jika tak ada kejelasan itu, Harifin yakin perdebatan mengenai pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial akan berkepanjangan. “Ini akan jadi masalah berkepanjangan karena ukuran (teknis yudisial) tidak jelas,” kata Harifin saat memberikan pandangan dalam peluncuran buku Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial dan diskusi media di Jakarta, Kamis (13/10).

Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945 Komisi Yudisial mempunya wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Wewenang Komisi Yudisial dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan perubahannya lewat UU No. 18 Tahun 2011. Dalam prakteknya, Komisi Yudisial sering meminta klarifikasi dari hakim atas suatu laporan yang masuk.

Menurut Harifin, yang terpenting dilakukan saat ini adalah menyatukan pendapat dan visi kedua lembaga tentang batasan dan ukuran yang disepakati. Apapun kesepakatan kedua lembaga, yang penting jangan sampai mengganggu independensi peradilan. (Baca: Ini Harapan MA-KY Terkait Reformasi Kebijakan Hukum).

Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki mengatakan masalah utama Komisi Yudisial bukan pada eksistensi konstitusionalnya, melainkan pada kerangka wewenang dan tugas yang diatur dalam Undang-Undang serta cara pandang lembaga lain.

Dalam pemeriksaan hakim, yang berkaitan dengan putusan, faktanya Komisi Yudisial menemukan putusan yang tak patut. Misalnya memuat pertimbangan keterangan seorang saksi padahal saksi itu tak pernah diperiksa di persidangan. Menurut Suparman, Undang-Undang tak melarang putusan hakim bisa dieksaminasi atau dikaji. Yang tak boleh adalah memasuki dunia hakim ketika dalam proses pembuatan putusan itu.

Anggota Komisi III DPR, M. Nasir Djamil, mengatakan kunci untuk mengoptimalkan wewenang Komisi Yudisial adalah komunikasi dengan pemangku kepentingan lain. Wewenang seleksi calon hakim agung, misalnya, membutuhkan komunikasikan yang intens dengan DPR. Wewenang penegakan kode etik hakim membutuhkan komunikasi yang intens dengan Mahkamah Agung.

Berkaitan dengan komunikasi Komisi Yudisial dengan pemangku kepentingan lain, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyarankan agar komunikasi dibangun sejak awal. Komunikasi akan menumbuhkan saing pengertian dan saling memahami. “Dan yang penting, jangan egosektoral,” kata Nasir.
Tags:

Berita Terkait