Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi
Kolom

Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi

Ketidakpastian hukum, setidaknya di Indonesia, tidak serta merta mengakibatkan keruntuhan dunia seperti yang dibayangkan dalam adagium Justitia et Pereat Mundus.

Bacaan 6 Menit

Maka apa yang kita hadapi adalah birokrasi yang dalam dirinya sendiri menolak pemahaman statis tentang hukum. Peraturan perundang-undangan tidak otomatis berlaku dan akan diimplementasikan apa adanya. Hukum negara (tertulis), dalam pandangan birokrasi, wajib diterjemahkan ke dalam arahan kebijakan, petunjuk-pedoman yang lebih konkret atau diubah-disimpangi atas dasar kewenangan diskresi. Kebijakan-peraturan kebijakan dan regulasi itulah yang ke hadapan warga negara, mereka yang membutuhkan layanan publik atau pencari keadilan muncul sebagai aturan (tidak tertulis) yang memaksa.

Persoalannya dengan kebijakan (policy tidak identic dengan kebijaksanaan/wisdom) sebagai sumber utama dari semua regulasi di atas adalah sifatnya yang personal-temporer. Kebijakan inilah yang dari waktu ke waktu terus berubah mengikuti perkembangan pengetahuan, dan wawasan dari pimpinan atau siapapun yang memegang kendali di biro (unit kerja) tertentu. Di sini juga harus dipertimbangkan fakta bahwa kebijakan juga merupakan reaksi terhadap perilaku mereka yang membutuhkan layanan publik, untuk mencari jalan pintas, menghalalkan segala cara, termasuk memanipulasi data-informasi yang menjadi prasyarat bagi pemberian layanan itu. Mungkin itu sebabnya juga birokrasi tidak percaya pada dokumen yang mereka terbitkan sendiri. Misalnya untuk membuktikan identitas sebagai warga negara kita tidak saja harus melampirkan paspor, tetapi juga KTP, Kartu Keluarga dan bahkan akta lahir.

Singkat kata, kebijakan sekalipun menjadi sumber hukum utama, tidak niscaya menjanjikan keajegan apalagi kepastian hukum. Ketidakpastian hukum ini lagipula dianggap terberi dan lumrah. Sekalipun dikeluhkan- setidaknya oleh akademisi hukum - mereka yang berada di dua sisi meja (biro atau loket) berbeda, birokrat maupun warga-negara, bahkan investor, tampaknya beradaptasi dengan baik. Keduanya mampu mengembangkan strategi yang berbeda untuk menjalankan tugas sebagaimana instruksi maupun untuk tetap mendapatkan layanan publik yang dibutuhkan. 

Dalam konteks ini muncul street level bureaucracy, birokrat yang menawarkan jasa tambahan bagi warganegara untuk bernavigasi di antara kerumitan regulasi dan meja. Atau para birokrat direkrut oleh perusahaan untuk menjadi pegawai lepas-harian yang dari dalam biro mengurus kepentingan. Gejala lain adalah pengacara-konsultan hukum tidak lagi sekadar memberikan layanan jasa hukum, tetapi lebih dari itu menjadi broker dan fixer, perantara antara pengusaha-pencari layanan publik dengan birokrasi yang mengembangkan tembok kebijakan dan regulasi yang sangat dinamis itu.

Singkat kata, ketidakpastian hukum, setidaknya di Indonesia, tidak serta merta mengakibatkan keruntuhan dunia seperti yang dibayangkan dalam adagium Justitia et Pereat Mundus. Sekalipun kemudian untuk mendapatkan keadilan, rakyat tidak dapat mengandalkan hukum, namun harus memperjuangkannya dengan cara-cara yang justru extra dan kadang contra legem.

Penutup

Ketidakpastian hukum, tampaknya dalam kenyataan, tidak perlu dipermasalahkan. Kedua atau tiga pihak, birokrat, warga negara pencari layanan publik dan pengusaha (investor) yang kemudahan usaha tergantung pada kebaikan hati birokrasi, kemudian, seperti dalam teori evolusi, terus mengembangkan strategi adaptasi berbeda untuk bertahan hidup.

Maka mungkin saja, dari sudut pandang ini, masalah yang dihadapi Indonesia berkenaan dengan ketidakpastian hukum bukan berakar dari banyaknya aturan atau jumlah biro yang dikembangkan untuk menjalankan aturan. Dalam konteks ini pun, kita dapat tempatkan keberhasilan-kegagalan kebijakan deregulasi-debirokratisasi yang dicanangkan pemerintah dari waktu ke waktu, terakhir melalui pendekatan omnibus yang diakui dikembangkan demi ease of doing business dan kepastian hukum bagi pemerintah dalam memberikan layanan publik bagi investor.

*)Tristam Pascal Moeliono, pengajar mata kuliah filsafat hukum, perbandingan hukum dan sosiologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, anggota KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik) dan AFHI (Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait