UU Ketenagakerjaan Terlalu Sapu Jagat
Berita

UU Ketenagakerjaan Terlalu Sapu Jagat

Salah satu persoalan yang timbul dan belum bisa diselesaikan adalah tenaga kerja alih daya.

ADY
Bacaan 2 Menit
UU Ketenagakerjaan Terlalu Sapu Jagat
Hukumonline
Dalam hubungan industrial, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi acuan semua pihak di bidang hubungan industrial. Menurut staf ahli Menakertrans, Muji Handaya, regulasi itu tidak mengatur secara terpisah setiap bidang pekerjaan. Misalnya, harus dibedakan pengaturan ketenagakerjaan di bidang maritim dan pertanian karena kedua jenis industri itu berbeda. Sehingga, pengelolaan ketenagakerjaannya perlu disesuaikan dengan karakter jenis pekerjaan.

Ketentuan UU Ketenagakerjaan yang mengatur terlalu umum menurut Muji tidak mampu maksimal menuntaskan perselisihan ketenagakerjaan. Bahkan, ada ketentuan yang harusnya tidak perlu dimasukan dalam UU Ketenagakerjaan tapi malah ikut diatur. Misalnya penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) lewat mekanisme pemborongan pekerjaan. KUH Perdata sudah lama mengatur pemborongan pekerjaan.

Muji sepakat revisi UU Ketenagakerjaan harus didorong. Sehingga segala hal yang tidak perlu diatur, tidak dimasukan dalam UU Ketenagakerjaan. “UU Ketenagakerjaan itu sapu jagat,” katanya dalam diskusi yang digelar di gedung Kemenakertrans Jakarta, Rabu (11/6).

Dampak sifat sapu jagat UU Ketenagakerjaan dapat dilihat pada praktik alih daya atau outsourcin, terutama mekanisme penyedia jasa pekerja. Sebab, perusahaan penyedia jasa pekerja bertugas mengumpulkan orang untuk dipekerjakan kepada perusahaan pemberi pekerjaan. Sehingga pekerja yang bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan bisa berasal dari bermacam perusahaan outsourcing.

Pekerja di perusahaan outsourcing dan perusahaan pemberi pekerjaan bisa jadi melakukan pekerjaan dan dalam kondisi kerja yang sama. Tapi, mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda seperti persyaratan kerja dan upah yang diterima. Hal tersebut berpotensi menimbulkan gejolak. Di luar negeri, kata Muji, perusahaan outsourcing hanya bertindak sebagai penyalur pekerja. Di Indonesia, Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan perusahaan outsourcing dapat diartikan bukan sekadar penyuplai pekerja outsourcing. “Perusahaan penyedia jasa pekerja itu karakteristiknya bukan di ranah ketenagakerjaan. Suplier tidak, majikan juga tidak,” urainya.

Persoalan itu mengakibatkan minimnya perlindungan yang diperoleh pekerja alih daya yang menggunakan mekanisme penyedia jasa pekerja. Tapi, pemberi kerja tidak dapat disalahkan karena secara konstitusional praktik itu dibolehkan tapi harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Saepul Tavip, berpendapat praktik outsourcing, terutama penyedia jasa pekerja membuat bias hubungan kerja. Padahal, pasal 1 UU Ketenagakerjaan jelas menyebut bagaimana hubungan kerja yang harus dijalin antara pekerja dan pemberi kerja. “Artinya upah dan perintah itu dari satu pengusaha,” katanya.

Namun, Tavip menjelaskan pekerja outsourcing tidak memiliki hubungan kerja seperti itu dengan pengusaha. Sebab, upah pekerja outsourcing diberikan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja dan perintah berasal dari perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karenanya hubungan kerja dalam praktik outsourcing sangat bias.

Merujuk pasal 64 UU Ketenagakerjaan, Tavip menjelaskan ada dua jenis outsourcing yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja. Untuk pemborongan menurutnya tidak ada masalah, tapi sebaliknya dengan penyedia jasa pekerja. Sebab, outsourcing penyedia jasa pekerja tidak memberikan perlindungan kerja yang jelas. Misalnya, terjadi perbedaan upah antara seorang pekerja yang berasal dari perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja alih daya. Padahal, jabatan dan pengalaman kedua pekerja sama. “Itu kan dipotong sebagai fee perusahaan outsourcing,” ujarnya.

Jika pekerja outsourcing mengalami kecelakaan kerja, perusahaan outsourcing dan pemberi pekerjaan sering lempar tanggung jawab. Sebab, perusahaan pengguna dapat berdalih tidak bertanggung jawab karena tidak ada hubungan kerja.  Sebaliknya, perusahaan outsourcing beralasan tanggung jawab ada di tangan perusahaan pengguna.

Tavip kritik UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaan  outsourcing (Permenakertrans No. 19 Tahun 2012). Penentuan jenis pekerjaan inti dan penunjang hanya boleh dilakukan lewat asosiasi pengusaha. Harusnya, hal itu dibahas lewat mekanisme tripartit. Untuk itu ia mengusulkan agar outsourcing mekanisme penyedia jasa pekerja dihapus karena minim dalam memberikan perlindungan kepada pekerja.

Menurut dia, penegakan hukum ketenagakerjaan tak lepas dari peran petugas pengawas ketenagakerjaan. Lemahnya pengawasan mengakibatkan kekisruhan dalam pelaksanaan outsourcing. Untuk membenahi hal tersebut Tavip mengusulkan agar pengawas ketenagakerjaan tidak setingkat Dirjen, melainkan lembaga yang terpisah dan independen. “Perlu terobosan. Dibutuhkan lembaga pengawasan yang punya wibawa sekelas KPK. Jadi pelaku hubungan industrial tidak bisa main-main dengan hukum ketenagakerjaan,” usulnya.

Ketua Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi), Wisnu Wibowo, sepakat alih daya terhadap tenaga kerja dihapus. Sebab yang di-outsourcing itu pekerjaannya, bukan tenaga kerja. Tapi untuk kondisi tertentu outsourcing tenaga kerja diperlukan seperti pada jenis pekerjaan administrasi SDM. Sebab, secara internasional sudah umum pengelolaan SDM di sebuah perusahaan diserahkan kepada perusahaan yang ahli dibidangnya. Sedangkan pekerja yang dikelola administrasi SDM hubungan kerjanya dengan perusahaan pemberi pekerjaan, bukan perusahaan outsourcing.

Wisnu menekankan outsourcing berperan positif untuk membangun perekonomian Indonesia asalkan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Alih daya bisa meningkatkan devisa dan menekan angka pengangguran. Abadi mencatat potensi bisnis outsourcing di Indonesia tahun 2014 mencapai Rp17,5 triliun. Jika mampu merebut 1 persen pasar outsourcing internasional, Indonesia berpotensi mendapat devisa sebesar Rp92 triliun. Namun, Wisnu mengatakan potensi outsourcing di Indonesia melemah seiring diterbitkannya Permenakertrans tentang Outsourcing.
Tags:

Berita Terkait