Vonis Lebih dari Tuntutan Justru Jadi Alasan KPK untuk Banding
Utama

Vonis Lebih dari Tuntutan Justru Jadi Alasan KPK untuk Banding

Abdul Khoir dianggap KPK sebagai saksi kunci.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Abdul Khoir (berjas hitam) di ruang sidang Pengadilan Tipikor. Foto: RES
Abdul Khoir (berjas hitam) di ruang sidang Pengadilan Tipikor. Foto: RES
Lazimnya, jika putusan hakim telah memenuhi dua pertiga tuntutan, jaksa tidak akan mengajukan banding. Namun, dalam perkara suap proyek pembangunan jalan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dimana hakim menjatuhkan vonis melebihi tuntutan jaksa, KPK mengajukan banding.

Dalam perkara ini, hakim menghukum Abdul Khoir dengan pidana penjara selama empat tahun. Putusan tersebut lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni 2,5 tahun penjara. Ternyata, tak selamanya putusan yang kurang dari dua pertiga tuntutan menjadi alasan jaksa untuk banding. Justru, KPK banding karena putusan melebihi tuntutan jaksa.

Meski putusan Abdul melebihi tuntuan pidana penjara yang dimintakan jaksa, tetapi hakim tidak mempertimbangkan status Abdul sebagai pelaku yang bekerja sama (justice collaborator). Padahal, menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Abdul sudah memenuhi syarat sebagai justice collaborator. "Dia saksi kunci," katanya, Selasa (14/6).

Berkat keterangan Abdul, KPK dapat mengungkap pelaku-pelaku lain yang diduga memberi dan menerima suap. Sebut saja, Direktur PT Sharleen Jaya (Jeco Group) Hong Arta John Alfred, Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng, Direktur PT Putra Papua Mandiri Henock Setiawan alias Rino, dan Charlex Franz alias Carlos.

Dalam dakwaan Abdul, mereka disebut bersama-sama Abdul memberikan suap. Sementara, dari pihak penerima suap, selain Damayanti Wisnu Putranti, juga disebut Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary, serta sejumlah anggota Komisi V DPR, Andi Taufan Tiro, Musa Zainuddin, dan Budi Supriyanto.

Setelah Damayanti, KPK memang menetapkan beberapa tersangka lagi, yaitu Amran, Andi, dan Budi sebagai penerima suap. Sementara, Musa belum ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga anggota Komisi V tersebut diduga menerima suap. Oleh karena itu, Laode berpendapat, kesaksian Abdul masih dibutuhkan untuk perkara-perkara lainnya.

Laode khawatir, perbedaan pandangan antara KPK dan hakim soal justice collaborator akan berpengaruh pada penanganan perkara. Apabila hakim tidak mempertimbangkan status justice collaborator sebagai alasan meringankan hukuman, tidak ada lagi yang mau menjadi justice collaborator. "Itu salah satu yang dikhawatirkan," ujarnya.

Dengan alasan itu, KPK mengambil sikap untuk mengajukan upaya hukum banding atas vonis Abdul yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. KPK berharap Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta akan mempertimbangkan status Abdul sebagai justice collaborator. "Semoga dihukum sesuai tuntutan jaksa," ucap Laode.

Di lain pihak, pengacara Abdul, Haerudin Masaro sempat menyatakan, seharusnya jaksa mengajukan banding, karena majelis hakim tidak mempertimbangkan status justice collaborator Abdul sebagaimana tuntutan jaksa. Abdul telah mengungkapkan semua fakta, termasuk adanya kerja sama dengan pelaku pemberi suap lain.

"Jaksa saja sudah kasih dia (Abdul) JC. Dia  juga mengungkapkan telah melakukan kerja sama, tapi kok ditolak semua (oleh majelis hakim). Semua fakta sudah dia ceritakan. Anehnya, dia diputus di atas tuntutan. Dan yang paling utama harus banding dalam perkara ini adalah jaksa, karena Abdul divonis di atas tuntutan jaksa," terangnya.

Dalam putusan yang dibacakan pada 9 Juni 2016, majelis hakim yang diketuai Mien Trisnawaty, menilai Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir tak layak menyandang status justice collaborator. Pasalnya, terdakwa penyuap sejumlah anggota Komisi V ini adalah pelaku utama dan pemberi suap aktif.

Sebab, berdasarkan fakta di persidangan, ternyata sejak awal Abdul telah berusaha melakukan pendekatan-pendekatan kepada Amran. Bahkan, Abdul dan Hong Arta "patungan" memberikan uang sejumlah Rp8 miliar kepada Amran untuk membiayai suksesi Amran yang baru saja dilantik sebagai Kepala BPJN IX.  

Abdul juga aktif melakukan pertemuan dan negosiasi dengan anggota Komisi V, yaitu Andi, Musa, Damayanti, dan Budi dalam rangka mendapatkan proyek "program aspirasi" yang diusulkan BPJN IX ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk dimasukan dalam RAPBN 2016.

Selain itu, Abdul berusaha memenuhi permintaan Amran dengan mengumpulkan uang sejumlah Rp2,6 miliar dari sesama pengusaha kontraktor di Maluku dan Maluku Utara, Hong Arta, Aseng, Henock, dan Charles dengan maksud agar "program aspirasi" anggota Komisi V disalurkan dalam bentuk proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara.

Oleh karena itu, majelis tidak mempertimbangkan status justice collaborator Abdul. Alasannya, sesuai SEMA No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, justice collaborator bukan lah pelaku utama.

Namun, menurut majelis, apabila dipandang dari perspektif pemberi suap dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor, peran Abdul lebih aktif dibandingkan pemberi suap lainnya. Tak hanya itu, Abdul juga melakukan beberapa pertemuan dengan anggota Komisi V yang disertai dengan pemberian uang secara berulang melalui beberapa saksi.

"Dengan memperhatikan peran terdakwa yang demikian central di antara kawan terdakwa sesama kontraktor lainnya, yakni Hong Arta, Aseng, Henock, dan Charles di dalam mewujudkan anasir perbuatan pidana sebagaima dakwaan penuntut umum, maka majelis berpendapat terdakwa adalah pelaku utama dalam perkara ini," demikian pertimbangan majelis.

Tags:

Berita Terkait