Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan
Berita

Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan

Salah satu prinsip penting penerapan hukum pidana adalah larangan menggunakan analogi. Tetapi dalam RUU KUHP, larangan itu malah bisa diterobos. Akibatnya, para ahli saling beda pendapat.

Mys
Bacaan 2 Menit
Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP Terus Diperdebatkan
Hukumonline

 

Namun, masuknya living law dalam RUU KUHP justru dipandang akan mementahkan lagi larangan tegas penggunaan analogi (gezetzes analogie). Kebanyakan aturan yang hidup dalam masyarakat tidak ada konsep tertulisnya, sehingga yang sering dipakai adalah analogi. Tidak heran, seorang ahli pidana yang sudah menjadi anggota tim perancang RUU KUHP sejak 1983 mempertanyakan dasar pikiran masuknya pasal 1 ayat (3) tentang living law yang menganulir ketegasan larangan analogi. Bagaimana cara mengukur hukum yang hidup di dalam masyarakat itu? cetus guru besar hukum pidana tersebut.

 

Seorang sumber hukumonline juga membenarkan tentang adanya protes dari Prof. Schaffmeister, ahli hukum pidana yang mengajar di Belanda. Protes Schaffmeister terhadap masuknya klausul living law (pasal 1 ayat 3 RUU KUHP) disampaikan secara tertulis kepada seorang ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam kritiknya, ujar sumber tadi, Prof. Schaffmeister menganggap pasal 1 ayat (3) RUU KUHP sebagai pasal akrobatik.  

 

Anggota tim perumus RUU KUHP Prof. Andi Hamzah pernah mengusulkan jalan tengah. KUHP perlu mengadopsi ketentuan pasal 80 dalam KUHP China. Di sana disebutkan bahwa dalam situasi di daerah otonomi tidak dapat menerapkan secara sempurna KUHP, maka daerah otonom tersebut dapat menetapkan ketentuan sendiri berdasarkan politik ekonomi yang berbeda. Tetapi aturan daerah otonom tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR (Pusat).

Perdebatan antar ahli pidana mencuat sehubungan dengan larangan menggunakan analogi sebagaimana disebut pada pasal 1 ayat (2) RUU KUHP: Dalam menetapkan adanya tindak pidana, dilarang menggunakan analogi. Ayat (1) menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan.

 

Larangan menggunakan analogi selama ini dianut KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang sekarang berlaku. Namun larangan tegas itu akhirnya buyar setelah masuknya pasal 1 ayat (3) RUU, yang berbunyi Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Anggota Tim Perancang KUHP Tahun 2004, DR. Chairul Huda berpendapat pasal 1 ayat (3) RUU di atas bukan merupakan penyimpangan atau perluasan dari asas legalitas yang dianut ayat (1). Melainkan bersumber dari pikiran-pikiran atau ajaran tentang living law. 

 

Menurut Huda, diangkatnya tindak pidana adat dalam RUU KUHP merupakan hasil pemikiran panjang para perancang terdahulu. Hukum adat sangat diperlukan dalam memaknai aturan-aturan hukum dalam praktek kelak, ujar Huda, dalam suatu diskusi mengenai RUU KUHP di Jakarta, pekan lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: