Merefleksi dan Menakar Kerumitan Hukum Humaniter
Resensi

Merefleksi dan Menakar Kerumitan Hukum Humaniter

Disusun oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM FH Usakti yang mengumpulkan berkas-berkas pemikiran Prof Haryomataram yang tercecer di berbagai kertas kerja.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Tak banyak buku yang membahas hukum humaniter berbahasa Indonesia. Salah satu yang aktif menulis topik ini adalah Prof. Haryomataram. Sejumlah buku telah ditulis oleh Guru Besar Hukum Humaniter Universitas Trisakti ini, hingga akhir hayatnya.

Bahkan, meski telah tiada pun, karya Prof Haryo tetap hadir untuk meramaikan diskusi dan perdebatan seputar hukum humaniter. Karya terbarunya bertajuk “Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter”. Adalah murid-murid beliau dari Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM FH Usakti (TerAs) yang mengumpulkan berkas-berkas pemikiran beliau yang tercecer di berbagai kertas kerja.

Dalam buku ini, Prof. Haryo membahas secara tuntas mengenai hukum perang. Buku ini dimulai dengan satu topik pembahasan yang paling penting dalam hukum humaniter, yakni “Konflik Bersenjata”. Dijelaskan pula pendapat-pendapat para pakar seputar istilah “Konflik Bersenjata” dan “Perang” (Hal 3-5).

Prof Haryo juga berani berteori dengan mengemukakan Sistematika “Konflik Bersenjata” versinya. Sistematika yang disampaikannya bahkan terlihat lebih detil dibanding sistematika “Konflik Bersenjata” versi pakar-pakar yang lain, seperti JG Starke, Dietrich Schindler, dan Shigeki Miyazaki yang juga disajikan dalam buku ini.

Lebih lanjut, masih di bagian pertama, Prof Haryo memaparkan perdebatan para ahli seputar “Kekerasan dan Ketegangan dalam Negeri”. Ada ahli yang berpendapat, dalam situasi ini, hukum humaniter dan HAM tak berlaku. Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya (Hal 39-40). Adanya pro-kontra semacam ini membuat buku ini menjadi lebih semarak.

Di bagian dua, Prof Haryo juga menyajikan perdebatan seputar Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Adanya ‘right of self-determination’ membuat sejumlah negara –termasuk Indonesia- ragu meratifikasi konvensi ini, karena implikasinya ‘pemberontak’ di dalam negeri bisa berada posisi sejajar dalam hukum humaniter.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa seharusnya negara tak perlu takut karena isi pasal ini dalam praktek akan sulit dilaksanakan. Meski begitu, Prof Haryo mewanti-wanti agar pemerintah Indonesia memberi perhatian yang khusus dengan pasal ini.

Tags:

Berita Terkait