MK Tolak Pengujian UU Bantuan Hukum
Berita

MK Tolak Pengujian UU Bantuan Hukum

Pemohon usul agar pemerintah memberi mandat organisasi advokat terkait pengelolaan pemberian bantuan hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Tolak Pengujian UU Bantuan Hukum
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak uji materi sejumlah pasal UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang dimohonkan sejumlah advokat. Dalam putusannya, MK berkesimpulan Pasal 1 angka (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9;  Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22 tidak bertentangan dengan UUD 1945.  

”Menyatakan menolak permohonan para pemohon,” kata Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 88/PUU-X/2012 di ruang sidang MK, Kamis (19/12).      

Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1, 3, 5, 6 UU Bantuan Hukum telah mengatur memberikan batasan dan arah yang jelas mengenai bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, standar bantuan hukum, dan kode etik advokat yang tidak mengandung pertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Mahkamah meski paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum diberi kesempatan memberikan bantuan hukum kewajiban advokat memberi bantuan hukum secara cuma-cuma tidak dibatasi, tidak dikurangi, dan tidak dihilangkan oleh berlakunya UU Bantuan Hukum. Hal ini dipertegas dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Bantuan Hukum yang menyebut ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban advokat untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum sesuai UU Advokat.

”Dalil permohonan Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), (2) UU Bantuan Hukum tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan hukum putusan.

Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b UU Bantuan Hukum terkait penetapan menteri mengenai kebijakan penyelenggaraan dan standar bantuan hukum tak merugikan hak konstitusional para pemohon selaku advokat. Kebijakan itu justru mempermudah pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat guna meningkatkan akses orang miskin dan buta hukum dalam penyelesaian persoalan hukum.  

Adanya mekanisme dan pengawasan pemberian bantuan hukum oleh menteri terhadap advokat seperti diatur Pasal 7 ayat (1) huruf a sebagai bentuk pertanggungjawaban negara guna optimalisasi pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Pengawasan pemberian bantuan hukum oleh menteri terhadap advokat dibutuhkan agar pelaksanaan bantuan hukum memenuhi asas keadilan, persamaan kedudukan dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.

Mahkamah menegaskan Pasal 9 memperluas para pihak yang dapat memberikan bantuan hukum. Tak hanya advokat yang dapat memberikan bantuan hukum, tetapi juga paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum, termasuk mahasiswa dari fakultas syariah, perguruan tinggi militer, dan perguruan tinggi kepolisian, yang direkrut sebagai pemberi bantuan hukum. Hal ini sejalan dengan pertimbangan putusan MK No. 006/PUU-II/2004.

Berdasarkan putusan MK tersebut, pelayanan pemberian bantuan hukum oleh dosen dan mahasiswa fakultas hukum merupakan implementasi fungsi ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Saat menangani persoalan hukum masyarakat tak mampu/miskin, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum memiliki hak yang sama dengan advokat untuk memberi bantuan hukum. “Seluruh dalil para pemohontidak beralasan menurut hukum.”

Salah satu pemohon, Dominggus Maurits Luitnan mengaku kecewa dengan putusan MK ini. Sebab, profesi advokat sebagai penegak hukum disamakan dengan masyarakat lain yang diberi wewenang memberi bantuan hukum. “Kita sebenarnya keberatan dengan putusan ini, tetapi mau gimana lagi?”

Menurut dia, seharusnya pemerintah memberikan mandat kepada organisasi advokat untuk pengelolaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. “Ya, kalaupun perguruan tinggi, paralegal bisa memberikan bantuan hukum, seharusnya ini dikoordinir oleh organisasi advokat,” usulnya.

Dominggus Maurits Luitnan bersama Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB Mansyur Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, LA Lada, Metiawati, A Yetty Lentari, dan Shinta Marghiyana yang berprofesi sebagai advokat mempersoalkan 10 pasal UU Bantuan Hukum. Yakni, Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9;  Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22.

Menurut pemohon, UU Bantuan Hukum sangat merugikan profesi advokat karena memungkinkan dosen, mahasiswa hukum, dan aktivis LBH beracara di dalam maupun di luar pengadilan dalam rangka memberi bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Padahal UU Advokat dan PP No. 83 Tahun 2008 sudah mengatur kewajiban advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin.

Selain itu, lewat mekanisme UU Bantuan Hukum, sangat dimungkinkan adanya pengawasan pemerintah terhadap advokat. Sebuah prinsip yang sebenarnya sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi sendiri. Pengawasan advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan semua pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait