Gara-Gara ‘Calo’ Ganti Rugi Layanan Publik
Utama

Gara-Gara ‘Calo’ Ganti Rugi Layanan Publik

Nasib rancangan Perpres itu belum jelas. Beban anggaran negara semakin berat.

MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Ombudsman RI. Foto: SGP
Ombudsman RI. Foto: SGP
Pemerintah sudah lama menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembayaran Ganti Rugi dalam Pelayanan Publik. Beleid ini disiapkan sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Disusun oleh tim Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN & RB) sejak awal 2011, nasib Perpres ini ‘tidak ditolak tapi diminta dikaji ulang’. Walhasil, nasibnya belum jelas.

Salah satu yang mengkhawatirkan pemerintah adalah munculnya calo pembayaran ganti rugi dalam layanan publik. Staf Ahli Bidang Komunikasi Strategis dan Hubungan Kelembagaan Kementerian  PAN & RB Wiharto mengatakan mekanisme pembayaran ganti rugi itu rawan disusupi orang yang ingin mencari keuntungan dan ‘calo’. “Kalau membantu bagus, yang kami khawatirkan justru menjadi mata pencaharian”, kata Wiharto dalam diskusi di kantor Ombudsman Republik Indonesia, (27/2).

Kekhawatiran Wiharto bisa terjadi jika parameter pelayanan publik yang bisa dimintai ganti rugi tak jelas. Misalnya, hanya jika pelayanan terlambat beberapa menit, jika ada sedikit kekurangan pada dokumen kependudukan, langsung mengajukan ganti rugi banyak. Terlalu gampang memberikan ganti rugi justru bisa melahirkan ‘calo’ atau orang yang mencari-cari kelemahan dan kesalahan pelayanan publik.

Untuk menghindari itu, tim penyusun rancangan Perpres sebenarnya sudah membuat batasan. Hanya kerugian riil yang bisa diganti. Selain itu, tim penyusun mengkhawatirkan terjadinya kolusi anggota masyarakat, termasuk calo, dengan pelaksana pelayanan publik.

Beban anggaran
Faktor yang tidak kalah penting, yang membuat pembahasan rancangan Perpres mandeg, adalah potensi beban anggaran. Keberatan karena beban anggaran itu datang dari Kementerian Keuangan. Dalam korespondensi pada 2012 silam, Kementerian Keuangan ‘menolak’ biaya ganti rugi dibebankan kepada APBN. Seharusnya tuntutan ganti rugi kepada pelaksana pelayanan publik akibat kelalaian atau kesalahan sistem. Bagaimanapun, alokasi anggaran harus jelas nominalnya tidak bisa prediksi. Jika tidak, anggaran negara bisa bobol. “Lembaga negara bisa bangkrut,” kata Wiharto.

Kemenkeu juga meminta agar lingkup layanan publik dan besaran ganti rugi diperjelas. Dalam konsepsi Undang-Undang, pelayanan publik yang dimaksud meliputi pula korporasi atau lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Kamar Dagang dan Industri (Kadin), misalnya, dibentuk Undang-Undang. Apakah kerugian pelayanan publik yang diberikan Kadin bisa dibebankan kepada negara? Inilah yang membuat Ditjen Anggaran masih berkeberatan.

Pasal 50 UU Pelayanan Publik menyebutkan dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, keputusan hasil pemeriksaan memuat jumlah ganti rugi dan batas waktu pembayarannya. Penyelenggara wajib menyediakan anggaran guna membayar ganti rugi.

Direktur Eksekutif Yappika, Fransisca Fitri, melihat mundurnya pembahasan rancangan Perpres tak lepas dari keterlambatan penerbitan aturan pelaksanaan UU Pelayanan Publik. Seperti diketahui Peraturan Pemerintah (PP) pelaksanaan UU Pelayanan Publik baru terbit 2012 lalu.

Terkait dengan kemungkinan pembayaran ganti rugi, Fransisca mengingatkan tentang perlunya standar pelayanan. Standar pelayanan menjadi parameter yang bisa dipakai jika ada tuntutan ganti rugi atas pelayanan publik.

Wiharto mengamini pandangan Fransisca. “Yang bisa dimintai ganti rugi adalah yang tak sesuai standar pelayanan publik,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait