Penundaan Pilkada Serentak Bakal Munculkan Persoalan Baru
Berita

Penundaan Pilkada Serentak Bakal Munculkan Persoalan Baru

Mulai dari kekosongan kekuasaan hingga pemborosan anggaran.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: kpu.go.id
Foto: kpu.go.id
Pemilihan Kepala Daerah 2015 secara serentak memungkinkan banyak terdapat calon pasangan tunggal di beberapa daerah. Hal itu berpotensi dilakukan penundaan pelaksanaan hajatan  pesta demokrasi di daerah hingga 2017. Akibatnya, bakal memunculkan persoalan baru. Demikian disampaikan anggota Komisi II DPR, Sa’dudin, dalam siaran persnya kepada wartawan, Selasa (28/7).

Menurutnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan keluarga petahana maju kembali dalam periode berikutnya diharuskan mundur. Mulai yang tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota dewan DPR, DPD, dan DPRD. Hal itu berdampak sepinya peminat pesta demokrasi Pilkada.

“Kondisi ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya posisi tawar petahana untuk terpilih kembali. Terlebih lagi, sebagai kompetitor kuat petahana, yakni anggota DPR/DPRD/DPD, PNS dan calon independen  dihadapkan pada pilihan yang sulit jika harus berhadapan dengan petahana,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menguraikan sejumlah persoalan yang bakal muncul jika dilakukan penundaan. Pertama, terjadi kekosongan kekuasaan. Meski dimungkinkan adanya pelaksana tugas sebagai pejabat kepala daerah, namun hanya memiliki kewenangan yang terbatas.

“Apa jadinya suatu daerah selama dua tahun menjalankan pemerintahan tetapi tidak bisa mengambil kebijakan yang strategis,” katanya.

Kedua, dimungkinkan terdapat pemborosan anggaran. Menurutnya ketika pelaksanaan Pilkada ditunda, maka daerah tersebut bakal kembali menganggarkan penyelenggaraan Pilkada. Hal itu pula sejumlah sarana yang sudah dipersiapkan akan terbuang percuma. Oleh sebab itu, pelaksanaan Pilkada tak boleh dilakukan penundaan lantaran pula bertentangan dengan amanat UU Pilkada.

Anggota Komisi II lainnya, Luthfy A Muty berpandangan proses pelaksanaan Pilkada serentak menemui persoalan baru. Ketentuan dalam  Pasal 89 A poin (3) Peraturan KPU (PKPU) No.12 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah sudah menjelaskan secara gamblang. Poin (3) mensyaratkan pengunduran jadwal Pilkada hingga 2017 jika disuatu daerah hanya terdapat satu calon. “PKPU ini memunculkan polemik di tengah masyarakat,” ujarnya.

Ia menilai aturan tersebut dinilai akan menghentikan langkah calon yang sudah dipastikan maju oleh publik. Malahan tak memberikan penilaian positif terhadap partai politik yang telah mampu melaksanakan kaderisasi kepemimpinan secara baik. “Aturan ini dinilai akan menghentikan langkah calon yang sudah pasti diinginkan oleh warga,” katanya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini berpandangan ada tidaknya calon tandingan dalam Pilkada tidak lantas kemudian memundurkan jadwal pelaksaan Pilkada di daerah. Ia beralasan setidaknya terdapat dua kemungkinan jika hanya terdapat calon tunggal.

Pertama, bakal calon tersebut memang sangat diinginkan oleh masyarakat, angka popularitasnya sangat tinggi hingga mustahil muncul calon lain yang bisa menandingi. Kedua, pencalonan tunggal dikarenakan rekayasa politik, yakni adanya upaya dari pasangan bakal calon yang memberikan uang ke sejumlah partai politik untuk menghindari adanya calon lain.

“Pada dasarnya untuk alasan yang pertama sebenarnya sah-sah saja karena toh itu kehendak masyarakat. Namun yang bahaya itu adalah pencalonan tunggal karena ada rekayasa politik yang dilakukan oleh bakal calon yang membayar partai lain, supaya gak ada calon lagi,” ujarnya.

Anggota Komisi V Miryani S Haryani berpandangan pengunduran Pilkada hingga 2017 tidak dilakukan serta merta  bila hanya terdapat satu calon kepala daerah yang mendaftar. Namun penguduran pelaksanaan Pilkada dapat dilaksanakan bila telah melewati dua kali masa perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah yang bertarung dalam Pilkada. Dengan kata lain, terdapat proses yang mesti dilalui terlebih dahulu. Makanya, menjadi tugas partai politik dan elemen masyarakat untuk menghadirkan calon alternatif tersebut.

“Republik ini masih tersedia SDM yg sangat banyak utk bisa mengisi jabatan publik dan jabatan politik, sehingga secara logika sangat tidak dimungkinkan apabila calon yg mendaftar hanya satu pasang saja kecuali telah terjadi proses politik yg tidak sehat di dalamnya,” pungkas politisi Hanura yang juga mantan anggota Pansus RUU Pilkada itu.
Tags:

Berita Terkait