MA Usul Syarat CHA Nonkarier Ditinjau Ulang
Konferensi HTN II:

MA Usul Syarat CHA Nonkarier Ditinjau Ulang

Secara umum sistem seleksi calon hakim agung dinilai sudah baik, sehingga tidak perlu diubah.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MA Non Yudisial Suwardi (paling kiri) saat sesi diskusi dalam acara Konferensi HTN II yang diselenggarakan PUSaKO FH Universitas Andalas, Padang, Jum'at (11/9). Foto: ASH
Wakil Ketua MA Non Yudisial Suwardi (paling kiri) saat sesi diskusi dalam acara Konferensi HTN II yang diselenggarakan PUSaKO FH Universitas Andalas, Padang, Jum'at (11/9). Foto: ASH
Mahkamah Agung berharap beberapa persyaratan calon hakim agung dari jalur nonkarier baik yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial perlu ditinjau ulang. Persyaratan yang dirumuskan Undang-Undang menimbulkan kesenjangan antara hakim agung dari karier dan nonkarier.

Harapan itu disampaikan Wakil Ketua MA Non Yudisial Suwardi saat sesi diskusi dalam acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Convention Hall Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Jum'at (11/9).

Selain Suwardi, turut menjadi pembicara dalam acara itu Ketua KY Suparman Marzuki, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, dan Dosen Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Bivitri Susanti.

Suwardi menjelaskan kesenjangan ini terjadi akibat adanya perbedaan syarat pengalaman. Bagi hakim karier disyaratkan minimal 20 tahun menjadi hakim dan 3 tahun menjadi hakim tinggi. Sementara bagi hakim nonkarier disyaratkan hanya 20 tahun berpengalaman di bidang hukum dengan gelar doktor.

"Syarat pengalaman di bidang hukum fleksible sekali, bisa sebagai dosen, pengacara, notaris, dan sebagainya. Hakim karier masuk usia 53 tahun baru bisa menjadi hakim agung. Sedangkan kalau nonkarier usia 45 tahun bisa menjadi hakim agung ketika lulus langsung menjadi advokat," paparnya. "Nonkarir jauh lebih muda daripada hakim karier, sehingga hakim karier lebih cepat pensiun."

Suwardi juga mengusulkan agar sistem seleksi calon hakim dibuka dengan sistem terbuka dengan pembatasan jumlah hakim agung nonkarier. "Katakanlah komposisi hakim agung 70 persen untuk hakim karier dan 30 persen untuk hakim nonkarier," lanjutnya.

Bagaimanapun, hakim nonkarir tetap dibutuhkan karena umumnya nonkarier memiliki keahlian tertentu, seperti ahli perpajakan dan ekonomi. "Sistemnya tetap terbuka, tetapi ada pembatasan," usulnya.

Suwardi mengungkapkan seleksi calon hakim agung dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan perubahan UUD 1945 dan UU MA. Awalnya, seleksi calon hakim agung diangkat oleh presiden atas usukan MA dengan sistem tertutup atau karier. "Dulu seleksinya masih sangat sederhana, tetapi MA tetap melakukan penilaian," tutur Suwardi.

Namun, saat berlakunya, UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung , seleksi calon agung melibatkan DPR dan pemerintah melalui Menteri Kehakiman dengan sistem tertutup, tetapi dimungkinkan terbuka bagi calon nonkarier dalam hal-hal tertentu. Sebab, dalam beleid itu terdapat frasa "dalam hal-hal tertentu dapat diangkat calon hakim agung dari nonkarier".

Perubahan signifikan seleksi hakim agung ketika adanya perubahan ketiga UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA dimana adanya keterlibatan Komisi Yudisial (KY) untuk mengusulkan calon hakim agung ke DPR. Sistem seleksinya masih tertutup, tetapi dimungkinkan terbuka untuk calon nonkarier apabila dibutuhkan. Setelah terbitnya UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA mengubah sistem seleksi hakim agung bersifat terbuka murni baik calon yang berasal dari karier maupun nonkarier mempunyai kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi hakim agung.

Sudah baik
Ketua KY Suparman Marzuki mengaku sejak terbitnya putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 yang membatalkan mengubah makna pemilihan menjadi persetujuan dan pembatalan kuota 3 berbanding 1 pengusulan calon hakim agung.

"Sejak putusan MK itu, seleksi calon hakim agung semakin selektif dan kompetitif. KY tidak lagi dipaksa memenuhi rasio dengan mengusulkan calon yang sejatinya tidak layak diusulkan," kata Suparman. "Belajar tiga kali pengajuan calon hakim agung pasca putusan MK sudah cukup baik."

Dia menilai mekanisme seleksi calon hakim agung sudah baik, sehingga tidak perlu diubah. "Yang diperlukan ke depan adanya konsistensi KY dan DPR dalam menjaga keutamaan meloloskan calon yang memiliki integritas dan kompetensi," tambahnya.

Hal senada disampaikan Bivitri. Mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menganggap tidak perlu mengubah sistem seleksi calon hakim agung. Sistem seleksi calon hakim agung dengan melibatkan KY sudah cukup baik. Sistem ini juga sudah diterapkan di beberapa negara. "Sebenarnya seleksi calon hakim agung di Indonesia sudah memiliki sistem yang baik. Masalahnya mungkin prosesnya di DPR," kata Bivitri.

Hanya saja, ke depan perlu beberapa penyempurnaan dari sistem seleksi yang sudah ada. "Putusan MK juga sudah tepat, tinggal penyempurnaan mekanisme teknis di DPR sesuai kebutuhan pembaruan di MA," sarannya.
Tags:

Berita Terkait