Dengan kata lain, dapat dikatakan tidak ada larangan keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sepanjang masih dalam batas-batas penguasaan negara. Dalam arti, negara (Pemerintah) masih memegang kendali terhadap keterlibatan pihak swasta.
“Jika keterlibatan swasta saja, baik nasional maupun asing, tidak dilarang sepanjang masih di bawah penguasaan negara, tentu tidak logis apabila keterlibatan masyarakat secara swadaya atau koperasi dinyatakan dilarang, seperti dikehendaki Pemohon.” (Baca juga: SP PLN Menggugat, DPR Menjawab).
Karena itu, sebagian dalil Pemohon, sepanjang menyangkut argumentasi bahwa penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum harus tetap dikuasai oleh negara, adalah beralasan hukum. Namun, hal ini bukan berarti meniadakan peran atau keterlibatan pihak swasta (nasional maupun asing), BUMD, swadaya masyarakat maupun koperasi.
“Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan adalah inkonstitusional secara bersyarat sepanjang rumusan dalam ketentuan a quo dimaknai hilangnya prinsip penguasaan oleh negara,” tegasnya.
bunyi amar putusan MK bernomor111/PUU-XIII/2015 dalam pengujian sejumlah pasal UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang dibacakan Ketua Majelis MK Arief Hidayat, Rabu (14/12) kemarin di Gedung MK. (Baca juga: Tanpa Jaminan Pemerintah, Bagaimana Swasta Mau Bangun Proyek 35.000 MW?).
apabila rumusan pasal tersebut diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa, sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai prinsip “dikuasai oleh negara”. Sementara Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan dinyatakan inkonstitusional bersyarat apabila rumusan pasal tersebut dimaknai hilangnya prinsip “dikuasai oleh negara”.
mempersoalkanPasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan. Pasal-pasal itu intinya memuat pengelolaan penyediaan usaha tenaga listrik terpisah atau unbundling (pemisahan proses bisnis PLN) dengan menerapkan prinsip usaha sehat/memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik berbeda setiap regional/wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran korporasi swasta, multinasional, atau perorangan dalam mengelola dan mengusai tenaga listrik (privatisasi).
unbundling vertical unbundling horizontal(back office)Presiden Lapor Proyek Listrik Mangkrak ke KPK, Tunggu Hasil BPKP
, Mahkamah menegaskan penolakan pengujian Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan seperti tertuang dalam Putusan No. 149/PUU-VII/2009 tidak boleh diartikan penerimaan Mahkamah terhadap penerapan prinsip unbundling. Sebab, putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah menyatakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasaihajat hidup orang banyak tidaklah berarti UUD 1945 menolak privatisasi sepanjang tidak meniadakan penguasaan oleh negara.
unbundling
menjadi acuan norma pada ayat-ayat berikutnya agar seluruh rakyat terlayani kebutuhannya akan tenaga listrik. Karena itu, Pasal 11 ditutup dengan ayat (4) yang menekankan dalam hal tidak ada badan usaha (baik milik daerah maupun swasta) atau koperasi yang menyediakan tenaga listrik di suatu wilayah/daerah, Pemerintah menugasi BUMN (PT PLN) untuk menyediakannya. (Baca juga: Pemerintah Bantah Terapkan Liberalisasi Tarif Listrik).