RUU Keanekaragaman Hayati Perlu Pertegas Posisi Masyarakat Hukum Adat
Berita

RUU Keanekaragaman Hayati Perlu Pertegas Posisi Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat atau lokal harus diakui sebagai bagian tata kelola konservasi, jangan dikriminalisasi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Indonesia menggelar aksi budaya di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Kamis (6/4).
Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Indonesia menggelar aksi budaya di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Kamis (6/4).
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2017, disebut juga RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang fokus di sektor lingkungan hidup menyebut revisi itu berproses di Komisi IV DPR.

Ada beberapa isu yang disorot para aktivis lingkungan hidup dalam substansi RUU Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem itu. Mulai dari minimnya keterlibatan masyarakat, kriminalisasi hingga eksploitasi yang merusak kawasan konservasi.

(Baca Juga: Baleg Sepakati 49 RUU Prolegnas 2017, Ini Daftarnya)

Koordinator Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Kasmita Widodo, mengatakan RUU harus menegaskan posisi masyarakat hukum adat (MHA) atau lokal dalam pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati. Selama ini masyarakat menggunakan kearifan lokal untuk melakukan konservasi. “Kami ingin hal ini jadi bagian penting pembahasan RUU,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Kasmita perlu ada pengakuan dan administrasi yang menegaskan posisi MHA atau masyarakat lokal yang berada di kawasan konservasi. Pengakuan itu penting, salah satunya untuk mencegah kriminalisasi sebagaimana sering terjadi selama ini, khususnya di kawasan taman nasional sebagai wilayah konservasi. Dia juga tidak ingin RUU ini memberi karpet merah sektor swasta untuk melakukan konservasi. Menurutnya, masyarakat lokal harus menjadi subyek utama dalam melakukan konservasi.

Divisi Hukum Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Sandoro Purba, menegaskan pengakuan dan pencatatan administratif terhadap MHA atau masyarakat lokal di kawasan konservasi sangat penting ditegaskan dalam RUU. “Selama ini banyak aturan yang tumpang tindih, ketika ada penegakan hukum, masyarakat di kawasan konservasi yang sering dijerat,” tukasnya.

(Baca Juga: Kasus BKSDA Bukti Lemahnya Mental Aparat)

Selain itu Sandoro menyoroti ketentuan dalam RUU yang memberi kewenangan terhadap swasta untuk melakukan upaya paksa selama 2X24 jam dalam rangka pengamanan hutan. Menurutnya itu berlebihan karena polisi yang posisinya sangat jelas sebagai penegak hukum sekalipun dibatasi untuk melakukan upaya paksa seperti penangkapan yakni 1X24 jam. Selain itu ada prosedur ketat yang harus dilakukan seperti memberitahukan surat penangkapan sehingga jelas pertanggungjawabannya.

Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati, menekankan mestinya RUU fokus terhadap upaya konservasi. Misalnya, memperbaiki kawasan konservasi yang rusak dan memulihkan fungsi ekologinya. RUU tidak perlu mengurusi hal yang sudah diatur UU lainnya. “Dalam RUU ini masih ada celah yang bisa digunakan industri ekstraktif untuk masuk, yakni pemanfaatan panas bumi dan eksploitasi sumber daya air di kawasan konservasi,” urainya.

Perempuan yang disapa Yaya itu menyayangkan ada pasal karet dalam RUU yaitu ketentuan yang membolehkan adanya kepentingan khusus untuk masuk kawasan konservasi. Baginya ketentuan ini bisa ditafsirkan secara luas oleh pemerintah sehingga kebijakan yang dikeluarkan nanti bukan mengutamakan konservasi tapi malah membuka ruang eksploitasi yang semakin merusak hutan.
Tags:

Berita Terkait