7 Perjanjian Perdagangan Internasional Ini akan Diratifikasi Indonesia
Berita

7 Perjanjian Perdagangan Internasional Ini akan Diratifikasi Indonesia

Dikritik karena alasan dan proses ratifikasi cenderung bersifat tertutup dan tidak transparan.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perjanjian perdagangan antara dua belah pihak. Ilustrator: HGW
Ilustrasi perjanjian perdagangan antara dua belah pihak. Ilustrator: HGW

Pemerintah memutuskan untuk segera menyelesaikan proses ratifikasi 7 Perjanjian Perdagangan Internasional (PPI). Penetapan ratifikasi ini akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden, setelah sebelumnya ketujuh PPI ini juga secara bertahap telah disampaikan ke DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.

Keputusan ini merujuk pada UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Berdasarkan UU ini, setiap perjanjian perdagangan internasional disampaikan ke DPR paling lambar 90 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian. Perjanjian itu kemudian dibahas di DPR untuk memutuskan perlu tidaknya persetujuan anggota Dewan. Keputusan itu sudah dibuat dalam waktu 60 hari kerja pada masa sidang. Dalam hal perjanjian perdagangan internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan keuangan negara atau mengharuskan perubahan atau pebentukan UU, pengesahannya dilakukan dengan UU. Tetapi jika menimbukan dampak tersebut pengesahannya cukup dilakukan dengan Perpres. Jika dalam waktu 60 hari DPR tak mengambil putusan, pemerintah dapat memutuskan perlu tidaknya persetujuan DPR.

Informasi tentang rencana ratifikasi 7 perjanjian perdagangan internasional itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. “Kita putuskan dalam Rakor  untuk meratifikasi 7 PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan. Keputusan ini juga diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut. Saya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap,” ujarnya di Jakarta, Jum’at (09/11), sebagaimana tertuang dalam rilis yang diterima Hukumonline.

Ketujuh PPI dimaksud adalah First Protocol to Amend the AANZFTA Agreement (sudah disampaikan ke DPR pada 5 Maret 2015); Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA/AITISA (sudah disampaikan ke DPR pada 8 April 2015); Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA/AKFTA (sudah disampaikan ke DPR pada 2 Maret 2016); Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA/ACFTA (sudah disampaikan ke DPR pada 2 Maret 2016); ASEAN Agreement on Medical Device Directive/AMDD (sudah disampaikan ke DPR pada 22 Februari 2016); Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services/AFAS-9 (sudah disampaikan ke DPR pada 23 Mei 2016), dan Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA/IP-PTA (sudah disampaikan ke DPR pada 30 April 2018).

Dijelaskan dalam rilis, ada beberapa potensi kerugian jika Indonesia tidak meratifikasi 7 PPI tersebut. Misalnya pada perjanjian AANZFTA, sebelas pihak akan menolak skema dalam perjanjian sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA. Selain itu, dalam AANZFTA, Indonesia termasuk beneficiary utama. Ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6% atau senilai AS$1,76 milyar dari total ekspor ke Australia senilai AS$2,35 milyar pada tahun 2017.

(Baca juga: Ada Potensi Gugatan Investor Asing di Balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura).

Pada perjanjian AITISA, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high & middle management), dan jasa rekreasi yang menjadi keunggulan Indonesia vis a vis India.  Lalu Indonesia dapat disengketakan karena tidak menerapkan prinsip transparansi; tidak menurunkan biaya transaksi; tidak dapat memberikan kepastian kode HS yang sudah disetujui sebagai hasil perundingan (HS 2007 ke HS 2012), jika tidak meratifikasi perjanjian AKFTA.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait