Memperkuat Peran Hakim dalam Memutus Perkara TPPO
Utama

Memperkuat Peran Hakim dalam Memutus Perkara TPPO

Perkara TPPO memiliki kompleksitas dari akar masalah, modus serta pelaku.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Acara Pelatihan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang bagi Hakim Peradilan Umum Seluruh Indonesia, Selasa (14/12). Foto: MJR
Acara Pelatihan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang bagi Hakim Peradilan Umum Seluruh Indonesia, Selasa (14/12). Foto: MJR

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan yang memiliki kompleksitas tersendiri dalam penyelesaian perkaranya. Hakim harus memiliki pemahaman dan kesadaran yang kuat terhadap lanskap isu perdagangan orang di Indonesia. Sehingga, hakim memiliki pengetahuan dan kapasitas Hakim dalam mengadili perkara TPPO dalam proses persidangan.  Selain itu, hakim juga harus menggunakan pendekatan sensitifitas korban anak dan gender dalam proses persidangan.

Melihat kebutuhan tersebut, International Organization of Migration (IOM) bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA) menyelenggarakan kegiatan pelatihan yang diikuti oleh 22 orang peserta pada Selasa (14/12)-Sabtu (18/12) di Tangerang, Banten. Para peserta tersebut merupakan alumni Training of Trainer (ToT) LAN Peradilan Umum tahun 2020 dan Hakim dari Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, Badan Pengawasan MA RI, Kepaniteraan MA RI, Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Padang, Bandung, Surabaya, Jayapura, Jakarta, Pekanbaru, dan Makassar.

Deputy Chief of Mission IOM Indonesia, Theodora Suter, menjelaskan desakan untuk melakukan penguatan dalam penanganan dan penindakan TPPO semakin kuat, walau kemudian dihadapkan pada kompleksitas bentuk kejahatan yang menyebabkan tantangan dalam penanganannya.

Di Indonesia TPPO diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang mengatur terkait dengan bentuk, sanksi, dan hukum acara dalam penanganan TPPO. “Sampai 14 tahun keberlakuannya, UU 21/2007 masih menemui berbagai tantangan dalam implementasinya sehingga menyebabkan penegakan hukum yang belum terlaksana secara maksimal,” ungkap Theodora.

Dia menyampaikan pandemi Covid-19 mengubah modus dalam perekrutan pekerja. Perekrutan semakin mudah karena memanfaatkan teknologi informasi seperti media sosial. “Pandemi Covid-19 mengubah kebiasan orang sehingga media online digunakan untuk merekrut dan eksploitasi,” tambahnya. (Baca Juga: “Jerat” Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak)

Meski demikian, dia mengapresiasi komitmen Indonesia untuk memperkuat penegakan hukum pada perkara TPPO. Dia menjelaskan kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 mengharuskan hakim memiliki konsep kesetaraan gender dan berbagai pertimbangan dalam memutus perkara TPPO. Sehingga, Perma 3/2017 dinilai mampu menerapkan proses persidangan TPPO lebih baik dan berspektif pada korban.

Risiko kejahatan TPPO dapat terjadi secara luas baik pada laki-laki atau perempuan, dewasa maupun anak-anak. Para korban dieksploitasi dalam berbagai bidang, termasuk pekerjaan domestik, industri hiburan, konstruksi, pariwisata, dan pekerjaan seks, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan lainnya.

Tags:

Berita Terkait