KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Pejabat Negara Ikut Kampanye Pemilu?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Bolehkah Pejabat Negara Ikut Kampanye Pemilu?

Bolehkah Pejabat Negara Ikut Kampanye Pemilu?
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Pejabat Negara Ikut Kampanye Pemilu?

PERTANYAAN

Saya mengikuti berita dan timeline media sosial, beberapa pejabat negara seperti menteri dan kepala daerah baik terang-terangan ataupun tidak terang-terangan mengkampanyekan peserta pemilu seperti paslon presiden dan wapres tertentu. Secara hukum, bolehkah kepala daerah ikut kampanye? Bagaimana hukumnya jika menteri juga berkampanye?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Adapun, menteri dan kepala daerah tergolong sebagai pejabat negara.

    Lalu, bagaimana ketentuan hukumnya jika pejabat negara ikut kampanye pemilu?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

     

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Apa yang Dimaksud dengan Pejabat Negara?

    Disarikan dari artikel Perbedaan Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan Serta Contohnya pejabat negara adalah pimpinan dan anggota dari lembaga kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial.

    Dalam UU Keprotokolan dapat ditemukan definisi pejabat negara, yaitu pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang.[1]

    Adapun, yang termasuk pejabat negara menurut Pasal 58 UU ASN adalah sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. presiden dan wakil presiden;
    2. ketua, wakil ketua, dan anggota MPR;
    3. ketua, wakil ketua, dan anggota DPR;
    4. ketua, wakil ketua, dan anggota DPD;
    5. ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim agung pada Mahkamah agung serta semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
    6. ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
    7. ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
    8. ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
    9. ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
    10. menteri dan pejabat setingkat menteri;
    11. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh;
    12. gubernur dan wakil gubernur;
    13. bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota; dan
    14. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

    Berdasarkan ketentuan di atas, maka menteri dan kepala daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota dan menteri termasuk sebagai pejabat negara.

    Aturan Kampanye bagi Pejabat Negara

    Kampanye pemilu merupakan kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu.[2] Artinya, setiap kegiatan yang berkaitan untuk menarik pemilih atau menawarkan profil peserta pemilu kepada pemilih dapat dikatakan sebagai kampanye, dengan catatan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah pejabat negara boleh kampanye, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam UU Pemilu diatur mengenai siapa saja yang tidak boleh ikut kampanye ataupun menjadi pelaksana serta tim kampanye yaitu:[3]

    1. ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
    2. ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
    3. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
    4. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
    5. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
    6. aparatur sipil negara;
    7. anggota TNI dan Polri;
    8. kepala desa;
    9. perangkat desa;
    10. anggota badan permusyawaratan desa; dan
    11. warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.

    Terkait dengan larangan “pejabat negara bukan partai politik yang menjabat sebagai pimpinan lembaga nonstruktural” untuk ikut kampanye, sepanjang penelusuran kami contoh lembaga nonstruktural yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Ketahanan Nasional.[4]

    Selain itu, untuk berkampanye, pejabat negara selain yang dilarang kampanye sebagaimana dijelaskan di atas, setidaknya perlu memperhatikan tiga ketentuan yang penjelasannya sebagai berikut.

    Pertama, kampanye pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye.[5] Dalam hal kampanye presiden dan wakil presiden, pelaksana kampanye terdiri atas pengurus partai politik atau gabungan parti politik pengusul, orang-seorang dan organisasi penyelenggara kegiatan yang ditunjuk oleh peserta pemilu presiden dan wakil presiden.[6] Dalam melaksanakan kampanye pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan calon membentuk tim kampanye nasional.[7]

    Kedua, menteri dan pejabat setingkat menteri dan kepala daerah dapat melaksanakan kampanye apabila yang bersangkutan:[8]

    1. sebagai calon presiden atau calon wakil presiden;
    2. berstatus sebagai anggota partai politik; atau
    3. anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (“KPU”).

    Ketiga, Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan:

    1. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    2. menjalani cuti di luar tanggungan negara.

    Dalam menjalani cuti untuk kampanye pemilu, menteri dan kepala daerah harus memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, untuk melakukan kampanye perlu disesuaikan dengan jangka waktu kampanye pemilu.[9]

    Untuk menyederhanakan jawaban, kami mengasumsikan bahwa menteri dan kepala daerah yang Anda maksud, mengikuti kampanye sebagai anggota partai politik, anggota tim kampanye, atau pelaksana kampanye, bukan sebagai capres/cawapres.

    Menteri yang akan menjalani cuti, mengajukan permohonan cuti kepada presiden melalui Menteri Sekretaris Negara. Sementara, gubernur dan wakil gubernur mengajukan permohonan cuti kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada presiden. Bagi bupati/wali kota atau wakil bupati/wakil wali kota, permohonan cuti diajukan kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri.[10]

    Permohonan cuti tersebut diajukan paling lambat 12 hari kerja sebelum pelaksanaan kampanye.[11] Adapun, pelaksanaan cuti dilaksanakan selama 1 hari kerja dalam 1 minggu pada masa kampanye pemilu. Perlu diketahui juga bahwa hari libur merupakan hari bebas untuk melakukan kampanye di luar ketentuan cuti.[12]

    Dengan demikian, bagi menteri dan kepala daerah yang berkampanye hendaknya berstatus sebagai pelaksana atau tim kampanye yang didaftarkan ke KPU, menjalani cuti di luar tanggungan negara, dan tidak menggunakan fasilitas negara.

    Jika Pejabat Negara Berkampanye di Luar Masa Cuti

    Pejabat negara, termasuk menteri dan kepala daerah, ketika berada di luar masa cuti, maka melekat hak dan kewajibannya sebagai pejabat negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Dalam Pasal 282 UU Pemilu ditegaskan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

    Lebih lanjut, diterangkan dalam Pasal 283 UU Pemilu bahwa pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

    Dengan demikian, menurut hemat kami, pejabat negara yang tidak melaksanakan cuti dan tidak berstatus sebagai pelaksana atau tim kampanye, tidak diperkenankan berkampanye. Berkampanye di luar masa cuti dapat dikategorikan melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.

    Selain itu, tindakan pejabat negara yang berkampanye di luar masa cuti dapat dikategorikan sebagai mengadakan kegiatan yang mengarah kepada kepada keberpihakan kepada peserta pemilu. Tindakan tersebut dapat berupa ajakan, imbauan, seruan, pertemuan, ataupun pemberian barang.

    Pejabat negara yang melanggar ketentuan Pasal 282 UU Pemilu yaitu yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta sebagaimana diatur di dalam Pasal 547 UU Pemilu.

    Berdasarkan penelusuran kami, pejabat negara yang di luar masa cuti membuat kebijakan, tindakan, ataupun keputusan tertentu yang bertujuan untuk kampanye, juga berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang. Mengenai penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara dapat Anda baca juga di dalam pembahasan Hukumnya Presiden Memihak dalam Pemilu.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan;
    2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023;
    3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.

    Referensi:

    Profil LNS, yang diakses pada Rabu, 31 Januari 2024 pukul 10.13 WIB.


    [1] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

    [2] Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”)

    [3] Pasal 280 ayat (2) dan (3) UU Pemilu

    [4] Profil LNS, yang diakses pada Rabu, 31 Januari 2024 pukul 10.13 WIB.

    [5] Pasal 268 ayat (1) UU Pemilu

    [6] Pasal 269 ayat (1) UU Pemilu

    [7] Pasal 269 ayat (2) UU Pemilu

    [10] Pasal 35 ayat (1) PP 53/2023

    [11] Pasal 35 ayat (3) PP 53/2023

    [12] Pasal 36 PP 53/2023

    Tags

    kampanye
    uu pemilu

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara

    25 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!