KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Diduga Pelakor Rebut Anak dari Ibu Kandung, Ini Hukumnya

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Diduga Pelakor Rebut Anak dari Ibu Kandung, Ini Hukumnya

Diduga Pelakor Rebut Anak dari Ibu Kandung, Ini Hukumnya
Rifdah Rudi, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Diduga Pelakor Rebut Anak dari Ibu Kandung, Ini Hukumnya

PERTANYAAN

Belakangan ini, viral kasus diduga pelakor rebut suami WNA Korea yang tinggal di Indonesia. Menurut berita yang beredar, selain rebut suami WNA Korea, diduga pelakor tersebut juga rebut empat anak hasil pernikahan pihak istri (WNA Korea) dengan pihak suami. Pasalnya, wanita asal Korea Selatan ini mengunggah video di akun X dan TikTok. Video tersebut berisi cuplikan kejadian saat ia mengejar anak-anaknya di rumah sakit, namun ia tidak diperbolehkan untuk bertemu anak-anaknya oleh pihak suami dan diduga pelakor. Padahal, salah satu anaknya baru berusia empat bulan. Sepengetahuan saya, ketika WNA Korea hendak mengejar dan mengambil bayinya, diduga pelakor tidak mau menyerahkan bayi tersebut, menarik anak-anak tersebut, dan pergi.

 

Lantas, apa ancaman pidana bagi orang yang mengambil anak secara paksa? Kemana pihak istri sah (WNA Korea) dapat melaporkan kasus ini?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam KUHP lama, perbuatan seseorang yang mengambil anak secara paksa termasuk dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diatur dalam Pasal 330. Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru, perbuatan tersebut adalah tindak pidana perampasan kemerdekaan terhadap anak dan perempuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 452.

    Berdasarkan kasus Anda, ibu kandung (WNA Korea) yang merasa dirugikan karena anaknya yang belum cukup umur ditarik oleh seseorang dari kekuasaannya dapat menempuh upaya sebagai berikut:

    1. melapor ke kantor polisi;

    2. melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia; atau

    3. melapor ke Konsulat Jenderal Republik Korea di Indonesia.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih untuk pertanyaan Anda.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Pasal 330 KUHP tentang Pengambilan Paksa Anak

    Pasal 330 KUHP tentang Pengambilan Paksa Anak

    Pertama-tama, perlu kami tegaskan bahwa pembahasan kali ini akan dibatasi perihal kasus pengambilan anak secara paksa dari kekuasaan orang tua, tidak mencakup perihal masalah perselingkuhan. Kemudian, sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu hubungan antara orang tua dengan anak.

    Hubungan Antara Orang Tua dengan Anak

    Pada dasarnya, menurut UU Perkawinan, kedua orang tua diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.[1] Kewajiban orang tua ini dianggap berlaku sampai anak itu telah kawin atau berdiri sendiri, dan meskipun perkawinan di antara kedua orang tuanya putus kewajiban akan tetap berlaku.[2]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Disarikan dari Analisis Yuridis Pengambilan Paksa Anak oleh Orang Tua, kewajiban tersebut merupakan bentuk dari perlindungan anak sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 UU 35/2014, yaitu untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

    Lebih lanjut, salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Namun, pencabutan kekuasaan tersebut harus disertai dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:[3]

    1. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
    2. la berkelakuan buruk sekali.

    Akan tetapi, meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.[4]

    Hukumnya Merebut Anak dari Kekuasaan Orang Tua

    Berdasarkan informasi yang Anda berikan, terdapat ibu kandung/ Warga Negara Asing (“WNA”) Korea mengejar anak-anaknya (salah satunya bayi), namun ia tidak diperbolehkan untuk bertemu anak-anaknya oleh pihak suami dan diduga pelakor. Ketika WNA Korea hendak mengambil bayinya, diduga pelakor tidak mau menyerahkan bayi, menarik anak-anak tersebut, dan pergi.

    Menurut hemat kami, perbuatan seseorang yang mengambil anak secara paksa termasuk dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang/ perampasan kemerdekaan terhadap anak dan perempuan yang diatur dalam Pasal 330 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 452 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[5] yaitu tahun 2026. Berikut adalah bunyi pasal-pasal tersebut:

    Pasal 330 KUHPPasal 452 UU 1/2023
    1. Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
    2. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur 12 tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama 9 tahun.
    1. Setiap orang yang menarik anak dari kekuasaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[6]
    2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau terhadap anak yang belum berumur 12 tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[7]

     

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 235) menyatakan unsur-unsur dari Pasal 330 KUHP akan terpenuhi dalam hal:

    1. Orang yang melarikan orang yang belum dewasa tersebut niatnya sengaja mencabut kekuasaan dari orang yang berhak dapat diancam dengan hukuman.
    2. Pada waktu melarikan, orang itu harus mengetahui bahwa orang tersebut belum dewasa.
    3. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa terdakwalah yang mencabut (melarikan), jadi bukan dengan kemauan anaknya sendiri yang lari dari orang tua tersebut. Jika anak yang belum dewasa dengan kemauannya sendiri melepaskan dirinya dari kekuasaan orang tua atau walinya dan pergi meminta perlindungan kepada orang lain, dan orang tersebut menolak untuk menyerahkan kembali anak itu kepada walinya, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindakan menarik atau mencabut anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua atau walinya.
    4. Tipu daya adalah akal cerdik dan muslihat yang dapat memikat atau memasukkan perangkap orang yang ditipu itu.

    Sehingga pada intinya, menurut R. Soesilo, dalam peristiwa pada Pasal 330 KUHP harus dibuktikan bahwa memang pelaku yang mengambil anak tersebut, bukan keinginan dari anaknya sendiri yang melepaskan diri dari pemegang hak asuh anak yang sah.

    Selanjutnya, dari bunyi Pasal 330 KUHP di atas, terdapat istilah “seorang yang belum cukup umur” dan “anak”. Lantas, usia berapa seseorang dikategorikan sebagai anak? Menurut Pasal 1 angka 1 UU 35/2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

    Lebih lanjut, merujuk pada Penjelasan Pasal 452 UU 1/2023, ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan pelindungan terhadap anak yang telah mendapatkan pelindungan hukum. Misalnya, anak yang ditempatkan di panti asuhan, apabila mereka dilarikan, maka pelaku tindak pidana dapat dipidana.

    Adapun menurut Pasal 25 ayat (1) UU 1/2023, dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 16 tahun, yang berhak mengadu merupakan orang tua atau walinya.

    Dengan demikian, jika seseorang merebut anak dari kekuasaan orang tua dan memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemerdekaan orang/ perampasan kemerdekaan terhadap anak dan perempuan, ia berpotensi dijerat Pasal 330 KUHP atau Pasal 452 UU 1/2023.

    Baca juga: Pasal 330 KUHP tentang Pengambilan Paksa Anak

    Hak Anak dalam UU Perlindungan Anak

    Masih bersumber dari artikel sama yang ditulis oleh Achmad Roni, sebagai informasi, polemik perebutan hak asuh anak yang dilakukan orang tua berpotensi melanggar hak-hak anak dan tumbuh kembang anak yang mana seharusnya anak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan haknya sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya.

    Apalagi jika perebutan anak dilakukan dengan tindakan berlebih seperti diculik, dibawa paksa dengan kekerasan, disekap, ditarik-tarik dan kekerasan fisik lainnya. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak, sebagai berikut

    Pasal 4

    Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

    Pasal 13

    1. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

    a. diskriminasi;

    b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

    c. penelantaran;

    d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

    e. ketidakadilan; dan

    f. perlakuan salah lainnya.

    2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

    Pasal 16 ayat (1) dan (2)

    1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
    2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

     

    Melaporkan Tindak Pidana

    Menjawab pertanyaan Anda terkait pelaporan tindak pidana, berikut kami berikan beberapa opsi yang dapat ditempuh pihak istri/ibu kandung:

    1. Melapor ke Kantor Polisi

    Pihak istri/ibu kandung yang merasa dirugikan karena anaknya yang belum cukup umur ditarik oleh seseorang dari kekuasaannya dapat datang dan melapor ke kantor polisi terdekat dari lokasi tindak pidana. Selain itu, terdapat layanan Call Center 110 Polri, dimana masyarakat yang melakukan panggilan ke nomor akses 110 akan langsung terhubung ke agen yang akan memberikan layanan berupa informasi, pelaporan (kecelakaan, bencana, kerusuhan, dan lain-lain) dan pengaduan (penghinaan, ancaman, tindak kekerasan, dan lain-lain) secara gratis.

    Selengkapnya mengenai prosedur melaporkan tindak pidana ke polisi dapat Anda baca pada artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.

    1. Melapor ke KPAI

    Menurut hemat kami, karena kasus ini melibatkan anak, tindak pidana bisa dilaporkan juga ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”) secara langsung maupun online dengan mengisi formulir pengaduan.

    1. Melapor ke Konsulat Jenderal Republik Korea di Indonesia

    Mengingat pihak istri/ibu kandung adalah WNA Korea Selatan yang tinggal di Indonesia, ia juga bisa meminta bantuan kepada Pejabat Perwakilan Konsuler Republik Korea di Indonesia.

    Pada dasarnya, fungsi perwakilan konsuler telah ditetapkan dalam Vienna Convention 1963 (Konvensi Wina 1963) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU 1/1982, sebagai berikut:

    Pasal 5 huruf a

    Melindungi kepentingan negara dan warga negara pengirim di negara penerima, baik secara individual maupun badan-badan usaha (seperti yayasan, perusahaan, dan lembaga/Badan Usaha Milik Negara) dalam batas yang diperkenankan oleh hukum internasional.

    Pasal 5 huruf e

    Menolong dan membantu warga negara dari negara pengirim yang memerlukan pertolongan secara perorangan maupun badan-badan usaha dari negara pengirim.[8]           

    Informasi selengkapnya mengenai lokasi dan kontak dapat dibaca pada laman Kedutaan Besar Republik Korea untuk Republik Indonesia.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Diplomatic Relations concerning Acquisition of Nationality,1961) dan Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relations concerning Acquisition of Nationality, 1963);
    4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kedua kali diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016;
    5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    6. Vienna Convention on Consular Relations 1963.

    Referensi:

    1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1996;
    2. Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Kasus. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008;
    3. Call Center 110 Polri, yang diakses pada 8 Maret 2024, pukul 12.14 WIB;
    4. Formulir pengaduan, yang diakses pada 8 Maret 2024, pukul 14.17 WIB;
    5. Kedutaan Besar Republik Korea untuk Republik Indonesia, yang diakses pada 8 Maret 2024, pukul 14.20 WIB;
    6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang diakses pada 8 Maret 2024, pukul 14.20 WIB;

    [1] Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [2] Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan

    [3] Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan

    [4] Pasal 49 ayat (2) UU Perkawinan

    [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [6] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023

    [7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023

    [8] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Kasus. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 190

    Tags

    anak
    uu perlindungan anak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara

    25 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!