Selamat sore, Saya ingin menanyakan apabila seorang anak menggunakan sertifikat atas nama orang tuanya untuk jaminan bank apakah memerlukan persetujuan tertulis dari saudara-saudara anak tersebut? Dan apabila di kemudian hari ternyata orang tua yang namanya tertera dalam sertifikat tersebut meninggal dunia (namun kredit di bank belum selesai) kedudukan hukumnya bagaimana? Mohon penjelasannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Dalam hal ini, kami berasumsi bahwa sertifikat yang Anda maksud adalah sertifikat tanah milik si orang tua dan sertifikat tanah tersebut dijaminkan pada saat orang tua tersebut masih hidup (melihat pada uraian pertanyaan yang menanyakan “apabila di kemudian hari ternyata orang tua yang namanya tertera dalam sertifikat tersebut meninggal dunia”).
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
Mengenai sertifikat tanah atas nama orang tua, maka dalam hal ini orang tua tersebut bertindak sebagai “pihak ketiga pemberi hak tanggungan”. Sebagaimana kami sarikan dari J. Satrio dalam bukunya Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1 (hal. 245-246), pemberi hak tanggungan adalah pemilik persil, yang dengan sepakatnya dibebani dengan hak tanggungan sampai sejumlah uang tertentu, untuk menjamin suatu perikatan/utang. Sedangkan, pihak ketiga pemberi hak tanggungan adalah pihak ketiga (orang lain) yang menjamin utangnya debitur dengan persil miliknya.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam hal orang tua tersebut ingin menjaminkan tanahnya untuk utang salah satu anaknya, orang tua tersebut sebagai pemilik dari tanah tersebut tidak perlu meminta persetujuan dari anak-anaknya yang lain. Begitu juga anak yang memiliki utang tidak perlu meminta izin dari saudara-saudaranya karena dalam hal ini yang berhak melakukan tindakan kepemilikan (salah satunya menjaminkan) atas tanah itu adalah si orang tua.
Ini karena pada dasarnya setiap orang yang mempunyai hak milik atas suatu benda, berhak untuk melakukan tindakan apapun atas benda tersebut. Berdasarkan Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
Mengenai pengaturan hak milik dalam Pasal 570 KUHPer, menurut Ny. Hj. Frieda Husni Hasbullah, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan (hal. 87), yang dimaksud dengan penguasaan dan penggunaan suatu benda dengan sebebas-bebasnya, diartikan sebagai:
1.Dapat melakukan perbuatan hukum misalnya mengalihkan, membebani, menyewakan, dan lain-lain.
2.Dapat melakukan perbuatan materiil misalnya memetik buahnya, memakai, memelihara, bahkan merusak.
Jadi, tidak perlu ada persetujuan apapun dari anak-anak orang tua tersebut atau saudara-saudara si anak yang berutang.
Jika kemudian orang tua yang namanya tertera dalam sertifikat tersebut meninggal dunia, maka jaminan tersebut tidak semerta-merta gugur. Jaminan hak tanggungan atas tanah tersebut tetap ada. Ini karena hak tanggungan yang merupakan hak kebendaan juga didasarkan pada asas droit de suite. Asas droit de suite berarti hak kebendaan tersebut mengikuti bendanya ke dalam tangan siapapun benda tersebut berpindah. Asas ini terlihat dari ketentuan dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan, yang menyatakan:
“Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.”
Jadi, walaupun berdasarkan hukum waris, yang memiliki tanah itu setelah orang tua tersebut meninggal dunia adalah para ahli warisnya, perubahan pemilik tidak mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. Hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut.
Selain itu, dapat juga dilihat dari hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak tanggungan pada Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan, yang mana beralihnya kepemilikan tanah bukan merupakan salah satu hal yang menyebabkan hapusnya hak tanggungan.
Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan
(1).Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a.hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Jadi, jika kemudian orang tua yang menjaminkan sertifikat tanahnya meninggal dunia, jaminan tersebut masih ada dan dapat dieksekusi oleh bank jika debitur (anaknya) wanprestasi.