Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pengertian Saksi menurut KUHAP
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Alat bukti yang sah ialah:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Namun perlu Anda ketahui bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 26 dan Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP di atas bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Lebih lanjut, menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 286), keterangan saksi adalah suatu hal yang tidak luput dari perkara pidana. Hampir semua perkara pidana memerlukan alat bukti keterangan saksi sebagai pembuktian. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Saksi Menolak Memberikan Keterangan
Menjadi saksi adalah kewajiban. Hal ini sebagaimana tergambar dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa:
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
Pasal 224 KUHP
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 522 KUHP
Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 3 PERMA 2/2012
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
Menurut Yahya Harahap dalam buku yang telah disinggung sebelumnya (hal. 698), setiap saksi dituntut untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya sesuai dengan lafal sumpah atau janji yang diucapkannya. Saksi tidak perlu dan tidak dituntut untuk menerangkan sesuatu yang berupa cerita orang lain kepadanya maupun berupa perkiraan, pendapat atau dugaaan. Demikian juga terhadap hal-hal yang bersifat persangkaan, tidak perlu dikemukakan di sidang pengadilan.
Masih dalam buku yang sama (hal. 288), diuraikan bahwa terdapat asas dalam hukum acara pidana yakni unus testis nullus testis, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yaitu keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun dalam hal terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan satu orang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena di samping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Oleh karena itu, kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.
Pengertian Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana
Mengenai pertanyaan Anda, kami sayangkan Anda tidak memberikan informasi mengenai umur anak yang akan dijadikan saksi tersebut. Hal ini mengingat umur saksi berpengaruh terhadap perlakuan atas keterangan yang ia berikan di dalam persidangan. Pasal 171 KUHAP mengatur bahwa yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin, serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pertama-tama kita perlu memahami kriteria anak sebagai saksi itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”) menjelaskan bahwa anak yang menjadi saksi tindak pidana (“anak saksi”) adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
[1]
Dalam hal pemeriksaan saksi dalam sistem peradilan pidana anak, anak saksi wajib didampingi orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU 11/2012 yang berbunyi:
Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa memberikan keterangan sebagai saksi merupakan suatu kewajiban. Uniknya dalam Pasal 19 UU 11/2012 diatur bahwa:
Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
Oleh karena itu, orang tua maupun anak seharusnya tidak perlu takut untuk merasa dikucilkan karena identitas anak tidak akan disebar luaskan dalam media. Selain itu juga dalam Pasal 56 UU 11/2012 dijelaskan bahwa:
Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Persidangan yang tertutup untuk umum artinya selain pihak yang berperkara atau dalam kapasitas sebagai kuasa hukum, tidak dapat masuk ke dalam ruang persidangan. Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam UU 11/2012.
[2]
Jangan Takut Menjadi Anak Saksi
Menurut hemat kami, menjadi saksi atau memberikan keterangan saksi adalah kewajiban hukum, termasuk bagi anak. Oleh karenanya jika ada panggilan sebagai saksi, yang bersangkutan wajib memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, tanpa tekanan/intervensi dari pihak manapun, termasuk orang tua. Apabila yang bersangkutan (calon saksi) tidak memenuhi kewajiban tanpa alasan yang dapat diterima (misalnya menjalankan tugas Negara, sakit, dan sebagainya) maka dapat diancam dengan sanksi pidana menurut Pasal 224 jo. Pasal 522 KUHP yang telah disinggung sebelumnya.
Namun, berdasarkan pertanyaan Anda dan prinsip unus testis nullus testis, jika anak tersebut tetap tidak mau menjadi saksi, maka alat bukti lain dapat digunakan dalam dugaan perkara pemukulan/penganiayaan yang dialami putra Anda. Misalnya, Anda dapat melakukan permohonan kepada penyidik untuk melakukan visum oleh dokter yang berwenang, sehingga hasilnya (visum et repertum) dapat dijadikan tambahan alat bukti. Anda juga dapat meminta orang lain untuk menjadi saksi, misalnya guru atau orang yang mengetahui pertama kali pemukulan tersebut.
Kasus tidak akan terhenti hanya karena anak yang menjadi sanksi tindak pidana tersebut tidak memberikan keterangannya. Penyidikan dapat berhenti hanya jika Pasal 109 ayat (2) KUHAP terpenuhi. Pasal tersebut berbunyi:
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
[1] Pasal 1 angka 5 UU 11/2012
[3] Pasal 1 angka 5 UU 31/2014