Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Apa itu Putusan Verstek?
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, akan kami sampaikan terlebih dahulu apa itu putusan verstek. Putusan verstek merupakan bagian dari hukum acara perdata di Indonesia yaitu berkaitan dengan penjatuhan putusan atas perkara yang dipersengketakan yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat.[1]
klinik Terkait:
Dasar hukum putusan verstek adalah Pasal 125 HIR yang berbunyi:
Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Disarikan dari artikel Putusan Verstek Jika Salah Satu Tergugat Tidak Hadir secara sederhana, putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim jika tergugat/para tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk hadir/menghadap meskipun sudah dipanggil secara patut.
M Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 397 – 399) sebagaimana dikutip dalam artikel Apakah Putusan Verstek Selalu Memenangkan Penggugat? menyebutkan empat bentuk putusan verstek yaitu mengabulkan seluruh gugatan, mengabulkan sebagian gugatan, menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dan menolak gugatan.
Jadi putusan verstek tidak berarti selalu dikabulkannya gugatan penggugat. Pada hakekatnya lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et alteram partem, jadi kepentingan tergugat pun harus diperhatikan, sehingga seharusnya secara ex officio hakim mempelajari isi gugatan.[2]
berita Terkait:
Baca juga: Catat! Ini 10 Asas Hukum Acara Perdata
Upaya Hukum Derden Verzet
Derden verzet sebagaimana diatur di dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, Pasal 206 ayat (6) Rbg, dan Pasal 378 Rv adalah perlawanan atau bantahan atas penetapan sita eksekutorial oleh pihak ketiga yang kepentingannya dilanggar.[3] Derden verzet dilakukan apabila pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan sita eksekusi telah merugikan ataupun melanggar hak dan kepentingan pihak ketiga.[4]
Secara lebih sederhana, menurut M. Yahya Harahap yang dikutip artikel Seluk Beluk Derden Verzet (Perlawanan Pihak Ketiga), derden verzet atau perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum atas penyitaan milik pihak ketiga.
Perlu diketahui bahwa terdapat dua jenis derden verzet, yaitu perlawanan terhadap sita jaminan (conservatoir beslaag) dan perlawanan terhadap sita eksekusi.[5] Conservatoir beslaag dapat diajukan pihak ketiga selama perkara yang dilawan belum memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka diajukan gugatan perdata biasa.[6]
Sedangkan derden verzet atas sita eksekusi dapat diajukan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan sebelum eksekusi dilaksanakan. Apabila eksekusi telah dilaksanakan, maka tidak dapat lagi dilakukan perlawanan melainkan dengan cara mengajukan gugatan.[7]
Dengan demikian, perlu Anda catat bahwa yang menjadi objek perlawanan dalam perlawanan derden verzet adalah penetapan eksekusi.
Peninjauan Kembali (PK)
Pada prinsipnya suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht tidak dapat ditarik kembali dan harus dianggap telah terbukti kebenarannya. Namun demikian, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap masih diberikan kesempatan berdasarkan hal-hal tertentu dan atas dasar yang kuat, untuk diperiksa kembali melalui upaya peninjauan kembali. [8]
Peninjauan kembali dapat dilakukan terhadap putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau tidak dimungkinkan lagi diajukan verzet (perlawanan terhadap putusan verstek), banding, ataupun kasasi berdasarkan permohonan salah satu pihak yang beperkara.[9]
Peninjauan kembali dapat diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan atau alasan-alasan sebagai berikut.[10]
- apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
- apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
- apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
- apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
- apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Penting diketahui bahwa tenggang waktu untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan tersebut di atas adalah 180 hari untuk:[11]
- yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
- yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
- yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
- yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Baca juga: Aturan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Perkara Perdata
Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek
Sebelumnya, Anda tidak menjelaskan mengenai jenis perkara perdata apa yang dihadapi maupun keterangan mengenai terdapat atau tidaknya penetapan eksekusi dalam putusan verstek yang Anda maksud.
Upaya hukum terhadap putusan verstek adalah dapat melalui pengajuan permohonan peninjauan kembali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, putusan verstek yang telah inkracht termasuk putusan yang dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Apabila Anda akan mengajukan permohonan peninjauan kembali, maka perlu diperhatikan jangka waktu pengajuannya. Misalnya jika peninjauan kembali dilakukan karena ditemukan surat bukti yang bersifat menentukan maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam waktu 180 hari sejak ditemukan surat-surat bukti tersebut yang waktu dan tanggalnya dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Adapun, jika terdapat penetapan/sita eksekusi terhadap putusan verstek yang sudah inkract tersebut, maka pihak ketiga yang dirugikan karena benda/barang miliknya menjadi objek eksekusi dapat mengajukan perlawanan/derden verzet dengan catatan eksekusi tersebut belum dilaksanakan.
Demikian jawaban dari kami tentang upaya hukum putusan verstek yang telah inkracht, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Reglement op de Rechtsvordering;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Herzien Indlandsch Reglement;
- Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura;
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Referensi:
- Adriana, Nawi & Busthami. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Eksekusi Putusan No: 08/Pdt.G/2017/PN.JO, Journal of Lex Generalis, Volume 2, Nomor 2, Februari 2021;
- Maswandi, Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Mercatoria, Volume 10, Nomor 2, Desember 2017;
- Pradnyawati, I Nengah Laba. Tinjauan Yuridis Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Putusan Verstek, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2018;
- Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2007;
- Winarno Ali Gunawan, Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Perdata, Jurnal Hukum & Pembangunan, Volume 37, Nomor 1, Januari – Maret 2007.
[1] Maswandi, Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Mercatoria, Volume 10, Nomor 2, Desember 2017, hal. 161
[2] Maswandi, Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Mercatoria, Volume 10, Nomor 2, Desember 2017, hal. 164
[3] Pradnyawati, I Nengah Laba, Tinjauan Yuridis Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Putusan Verstek, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2018, hal. 27
[4] Pradnyawati, I Nengah Laba, Tinjauan Yuridis Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Putusan Verstek, Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2018, hal. 26
[5] Adriana, Nawi & Busthami. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Eksekusi Putusan No: 08/Pdt.G/2017/PN.JO, Journal of Lex Generalis, Volume 2, Nomor 2, Februari 2021, hal. 599
[6] Adriana, Nawi & Busthami, Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Eksekusi Putusan No: 08/Pdt.G/2017/PN.JO, Journal of Lex Generalis, Volume 2, Nomor 2, Februari 2021, hal. 599
[7] Adriana, Nawi & Busthami, Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Terhadap Eksekusi Putusan No: 08/Pdt.G/2017/PN.JO, Journal of Lex Generalis, Volume 2, Nomor 2, Februari 2021, hal. 599
[8] Winarno Ali Gunawan, Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Perdata, Jurnal Hukum & Pembangunan, Volume 37, Nomor 1, Januari – Maret 2007, hal. 52
[9] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 237 dan 250
[10] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU Mahkamah Agung”)
[11] Pasal 69 UU Mahkamah Agung